Review Novel Gadis Minimarket: Kritik Sosial Atas Apa yang Disebut Normal Bagi Masyarakat


"Dunia menuntut Keiko untuk jadi normal. Memang apa itu normal?"

Membaca novel Convenience Store Woman atau yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi “Gadis Minimarket” membuatku termangu-mangu. 

Aku pikir novel setebal 160 halaman ini adalah cerita yang ringan dan biasa-biasa saja. Ternyata aku dibuat terkejut dengan isu-isu yang ditampilkan dalam setiap narasinya. 

Novel ini menurutku tidak begitu kompleks, malah sangat lekat dengan hal-hal yang terjadi di masyarakat pada umumnya. 

Sayaka Murata selaku penulisnya memang sangat lugas menganalogikan apa yang disebut ‘normal’ dan ‘tidak normal’ di masyarakat.

Analoginya adalah seorang perempuan paruh baya yang masih bekerja paruh waktu di supermarket bernama Keiko Furukura. Meski ia begitu mencintai pekerjaannya, hal itu dianggap tidak normal oleh orang-orang sekitarnya.  

Di usia 36 tahun, Keiko belum menikah dan belum pernah memiliki pasangan sama sekali seumur hidupnya. Alih-alih mencari pekerjaan tetap, Keiko lebih memilih untuk menghabiskan 18 tahun hidupnya untuk bekerja di minimarket. 

                                                        *Spoiler alert*

Di awal cerita, Keiko memang diceritakan sebagai orang yang ‘spesial’–malah cenderung absurd yang membuat dirinya memiliki pemikiran berbeda daripada orang pada umumnya.

Hal tersebut dapat dilihat dari masa kecil Keiko yang malah ingin membawa pulang dan memasak burung yang sudah mati untuk disantap bersama keluarganya alih-alih menangis dan mengubur burung tersebut.

Ketika teman-temannya menangis karena melihat kawan laki-lakinya saling baku hantam, Keiko malah memukulnya. Ketika gurunya mengomel di depan kelas, ia malah menarik celana gurunya agar tidak berisik.

Melihat keadaan Keiko yang seperti itu, orang tuanya lantas membawanya ke tenaga profesional untuk melakukan konseling. Tapi yang didapat dari situ hanyalah pernyataan “salah didik” dan masalahnya ada pada keluarga.

Padahal keluarganya sangat menyayangi Keiko. Satu-satunya orang yang mengerti dirinya adalah adiknya sendiri yang selalu memberi saran (alasan) yang harus Keiko utarakan ketika orang-orang mulai menguji kenormalannya.

Memang normal itu seperti apa?

Dunia normal bagi Keiko adalah dunia yang tegas dan diam-diam selalu mengeliminasi objek yang dianggap asing. Mereka yang tidak layak akan dibuang.

Keiko akhirnya merasa mulai menjadi ‘normal’ ketika ia bekerja di minimarket. Ia merasa memiliki ‘identitas baru’ sebagai pegawai minimarket.

Di minimarket, Keiko banyak melakukan proses imitasi dari orang-orang yang ia ajak bekerja. Seperti mengikuti gestur hingga pengucapan rekan-rekan kerjanya.

Ia juga memerhatikan bahwa semua orang yang ia ajak bekerja juga memiliki kesamaan sikap dan perilaku. Menurutnya, saling memengaruhi dapat menjaga seseorang untuk tetap menjadi manusia.

Ia pandai menata produk, merawat diri karena pekerjaannya, dan bekerja sangat baik.

Bagi Keiko, minimarket adalah tempat yang wajib dibuat normal. Hal asing harus segera dihilangkan Maka saat bekerja di minimarket, Keiko merasa itu adalah tempat ternyamannya.

Keadaan kemudian berubah ketika Keiko bertemu Shiraha yang merupakan pegawai minimarket baru. Ia digambarkan sebagai sosok yang tidak niat bekerja dan hanya mencemooh. 

Shiraha menurutku juga sosok lelaki yang seksis dan patriarkis. Meski begitu, ada kalimat-kalimat Shiraha yang juga mengkritik sistem sosial. 

Menurutnya, kehidupan laki-laki lebih berat dibandingkan perempuan. Jika belum seutuhnya terjun ke masyarakat, maka lelaki harus bekerja. Setelah bekerja, laki-laki dituntut untuk menghasilkan banyak uang. Setelah itu menikah dan memiliki keturunan. Setelah itu, masyarakat akan terus menghakimi.

Ketika Shiraha mengalami masalah pribadi dan tidak punya tempat tinggal, Keiko malah mengajaknya untuk tinggal besama. Ia kemudian hanya menumpang dan meminta Keiko untuk ‘menyembunyikan’ dirinya di sana selamanya.

Shiraha menurutku sangat toxic karena selalu mencemooh Keiko yang tidak laku karena di usianya yang segitu, ia masih saja bekerja paruh waktu.

Tapi di sisi lain, ada kata-kata Shiraha yang seperti menyadarkan Keiko bahwa orang-orang di sekelilingnya yang ‘normal’ adalah palsu dan sebenarnya juga ikut mencemooh di belakangnya.

Kemudian benar saja, bahwa orang-orang di sekitar Keiko memang terus-terusan mempertanyakan alasan dan pilihan yang dibuat Keiko: yang belum menikah dan masih bekerja paruh waktu di minimarket.

Ketika Keiko akhirnya mengatakan bahwa ia tinggal bersama dengan Shiraha (padahal tidak ada sama sekali romantisme antarmereka), orang-orang terdekatnya malah kegirangan dan mengatakan pada akhirnya ia adalah orang yang ‘normal’ dan mendukung penuh keputusannya untuk menikah dan berhenti saja dari pekerjaannya.

Keiko kemudian berhenti bekerja dan merasa depresi karena seperti kehilangan dirinya yang terbiasa dengan atmosfer minimarket.

Shiraha yang sangat mendukung keputusan Keiko kemudian mencarikan pekerjaan tetap untuknya (padahal dirinya sendiri masih nganggur dan tidak berguna!).

Puncaknya, saat Shiraha mengantar Keiko wawancara pekerjaan dan mampir ke minimarket untuk buang air, Keiko seketika refleks mengerjakan pekerjaan yang terbiasa ia lakukan dahulu di minimarket tersebut.

Melihat Keiko yang seperti itu, Shiraha marah besar dan semakin mengumpat Keiko. Namun, pertahanan diri Keiko sangat maksimal dan mengatakan bahwa ia bisa mendengar “suara minimarket”. Apa yang dibutuhkan dan diinginkan. Keiko sangat memahami minimarket.

Akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke minimarket, dan merasakan dirinya ‘hidup’ kembali.

Menurutku, novel ini aneh banget, meski realistis. Terjemahannya juga enak, secara yang nerbitin Gramedia.

Aku merekomendasikan novel ini untuk teman-teman yang sedang mencari bacaan yang 'segar' dan 'menggelitik'.

CONVERSATION

0 Comments:

Posting Komentar