Resensi Novel Pulang Leila S. Chudori: Kehidupan Eksil 1965 yang Dibui Tanpa Jeruji

 


Setelah setahun lalu membaca novel Laut Bercerita karya Leila S Chudori, akhirnya hari ini aku siap membaca “Pulang”.

 

Novel Pulang Leila S Chudori adalah sebuah fiksi sejarah yang menarik perhatian karena menampilkan tiga peristiwa penting seperti Indonesia 30 September 1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998. 

 

Membaca novel ini sungguh memberiku pengetahuan baru soal sejarah yang selama ini mungkin hanya kudapatkan dari buku-buku pelajaran sekolah.

 

Buku-buku tersebut juga barangkali tidak gamblang menjelaskan apa yang terjadi di dunia nyata, karena sejarah memang ditulis oleh pemenang.

 

Lalu bagaimana tiga peristiwa besar itu dinarasikan dalam novel ini?

 

Sinopsis Novel Pulang Leila S Chudori

 

Novel ini menarasikan rangkaian peristiwa penting dalam sejarah melalui sudut pandang beberapa tokoh fiksi yang terlibat di dalamnya khas Leila S Chudori.

 

Setelah menampilkan prolog dramatis penangkapan salah satu tahanan politik Hananto Prawiro, cerita kemudian berlanjut ke sudut pandang Dimas Suryo yang menceritakan perjalanannya bertahan hidup saat menjadi eksil 1965.

 

Dimas dan dua kawan dekatnya dituduh terlibat dalam G30S dan menjadi eksil politik di Paris. Mereka tidak bisa pulang karena paspor Indonesia yang dicabut akibat pemerintahan Orde Baru.

 

Sementara Hananto Prawiro, yang juga berkawan dengan mereka terpaksa ditahan untuk kemudian dihukum mati di Indonesia sehingga harus meninggalkan istri dan ketiga anaknya.

 

Dimas diceritakan sempat terlibat percintaan dengan istri Hananto, yakni Surti Anandari sewaktu masa perkuliahan.

 

Melihat keadaan Surti bersama ketiga anaknya yang hidup tersiksa di Indonesia, membuat Dimas tetap berkorespondensi dengan Surti dan anak sulungnya melalui surat-surat yang dikirim ke Paris.

 

Membaca surat-surat mereka juga sungguh menyayat hatiku. Apalagi ketika Kenanga, anak sulung Surti yang diminta membersihkan bekas darah orang-orang yang disiksa di sana.

 

Setelah dalam kurun waktu tiga tahun berpindah-pindah dan sempat mengungsi di Pekking, Dimas beserta dua kawannya yang beranama Nugroho dan Risjaf kemudian menutuskan untuk menetap di Paris.

 

Suatu hari, Dimas menyaksikan demonstrasi mahasiswa pada peristiwa Prancis Mei 1968 di Universitas Sorbonne. Ia kemudian jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Vivienne Devereaux yang ikut berdemonstrasi.

 

Mereka kemudian memutuskan untuk menikah dan melahirkan anak perempuan bernama Lintang Utara.

 

Melihat bakat Dimas yang pandai memasak–bersama Nugroho dan Risjaf, mereka kemudian berinisiatif membangun restoran Indonesia yang diberi nama “Tanah Air”.

 

Restoran mereka terbilang sangat sukses dan akhirnya menjadi penopang hidup mereka.

 

Secara bersamaan, Lintang Utara telah tumbuh dewasa dan mendapat tantangan dari dosennya di Sorbonne untuk membuat film dokumenter tentang para eksil politik beserta keluarganya di Indonesia.

 

Saat itu latar waktu berubah menjadi tahun 1998. Lintang kemudian mendapat kesempatan untuk pulang ke tanah air yang masih terasa asing baginya.

 

Di Indonesia, ia bertemu Segara Alam dan Bimo Nugroho yang merupakan anak Hananto dan Nugroho yang memiliki masa remaja yang kelam akibat dilabeli “anak tapol”. 

 

Alam dan Bimo yang aktif menjadi aktivis kemudian banyak membantu Lintang untuk merampungkan proyek tugas akhirnya.

 

Keadaan saat itu juga sedang bergejolak di mana seperti yang kita tahu, Mei 1998 menjadi tonggak reformasi Indonesia.

 

Selain mendengar kisah para keluarga eksil politik yang begitu pilu, penulisnya juga berhasil memasukkan euforia ketegangan di balik peristiwa kerusuhan Mei 1998 serta gejolak mahasiswa yang berhasil meruntuhkan orde baru. 

 

Meski tidak berakhir bahagia, menurutku endingnya cukup mengena ketika akhirnya Dimas Suryo berhasil “pulang” ke Karet sebagai tempat peristirahatan terakhir yang turut ditemani orang-orang terkasihnya.

 

 

Review buku Pulang Leila S Chudori

 

Kelebihan

Ini adalah kali kedua diriku membaca karya Leila S Chudori dan berhasil dibuat terkesima dengan narasi sejarah yang dikemas dengan apik dalam sebuah fiksi sejarah.

 

Mengingat latar belakang penulisnya yang pernah menjadi jurnalis Tempo, maka sudah tidak mengherankan lagi bahwa tulisan-tulisan beliau sangat kaya akan riset yang dapat menggairahkan pembaca. 

 

Sama seperti Laut Bercerita yang menceritakan pandangan antartokoh yang berbeda, novel Pulang menurutku juga kaya akan perspektif karena tokoh-tokoh yang terlibat juga diposisikan dalam sudut pandang orang pertama.

 

Tapi menurutku bagian yang menarik tentu saja ada pada perspektif Dimas Suryo, Lintang Utara, dan Segara Alam yang saling berkaitan.

 

Bagian Narayana Lafebvre juga menarik karena (mantan) kekasih Lintang yang campuran Indonesia-Prancis ini banyak menguak hal-hal yang terjadi pada eksil politik dan pihak KBRI Prancis. 

 

Utamanya yang berkaitan dengan istilah “Bersih Diri dan Bersih Lingkungan”. Di dunia nyata, Kebijakan Bersih Diri dikenakan kepada seseorang yang dianggap terlibat dalam Gerakan 30 September, anggota PKI atau anggota sejenisnya.

 

Di sisi lain, Bersih Lingkungan dikenakan kepada anggota keluarga seseorang yang telah dicap komunis. 

 

Dalam catatan akhir dari novel ini, disebutkan bahwa untuk memastikan sistem ini berlangsung, para mantan tapol diberi cap ET (Eks Tapol) pada KTP mereka. Bahkan untuk mengecek calon pegawai perusahaan, mereka juga akan ditelusuri mellalui litsus (Penelitian Khusus).

 

Masa-masa yang diceritakan dalam novel ini pastilah sungguh suram dan rasanya oarnag-orang yang terlibat, baik sengaja maupun tidak sengaja pastilah seperti memikul beban seumur hidup. 

 

Bahkan ada bagian sepupu Lintang (anak dari adik Dimas Suryo) yang gagal menikah karena keluarga calonnya yang anti terhadap komunis.

 

Aku sangat merekomendasikan novel ini sebagai pengantar untuk mengetahui sejarah Indonesia yang selama ini ditutup-tutupi atau dianggap angin lalu. Sungguh sebuah bacaan yang menggairahkan.

 

Kekurangan

Di balik cerita yang menggairahkan, menurutku novel ini terlalu banyak memiliki sudut pandang sehingga bisa membuat pembaca bingung dengan tokoh-tokohnya yang terlalu banyak.

 

Dengan alur campuran yang menurutku tidak begitu mengganggu, menurutku ada adegan yang sesungguhnya tidak perlu diceritakan (walau bagian ini bikin geregetan) seperti adegan seks antara Dimas dan Surti, birahi Dimas dengan Vivienne, hubungan intim Lintang dan Narayana, atau kisah Lintang dan Alam yang tiba-tiba jatuh cinta dan berselingkuh.

 

Tapi di balik kekurangan di atas, novel setebal 552 halaman ini memang bikin ketagihan untuk cepat-cepat melahap halamannya sampai habis.

 

Kutipan novel Pulang Leila S Chudori

 

“Jika di pinggiran Pekking merah berarti ‘bahagia’ atau ‘revolusioner’, maka merah untuk warga Indonesia berarti warna sungai dan darah yang mengalir sia-sia.”

Dimas Suryo (hal. 74)

 

“Sekali lagi, apa lagi yang harus kukeluhkan jika aku dikelilingi keluarga yang sangat mencintaiku? Mengapa aku tetap merasa ada sepotong diriku yang masih tertinggal di tanah air?”

Dimas Suryo (hal. 87)

 

“Aku lahir di sebuah tanah asing. Sebuah negeri bertubuh cantik dan harum bernama Prancis. Tetapi menurut Ayah darahku berasal dari seberang benua Eropa, sebuah tanah yang mengirim aroma cengkih dan kesedihan yang sia-sia. Sebuah tanah yang subur oleh begitu banyak tumbuh-tumbuhan, yang melahirkan aneka warna, bentuk, keimanan, tetapi malah menghantam warganya hanya karena perbedaan pemikiran”.

Lintang Utara (hal. 137)

 

“Kau harus ingat betul, karena Ayah dianggap bagian dari ‘perzinahan politik’ bersama PKI atau Lekra atau entah kelompok mana, maka kesalahan itu memanjang terus melampaui generasi Ayah. ‘Dosa politik’ itu bisa atau pasti ditempelkan kepadamu, di dahimu. Mudah-mudahan tidak sampai meluncur ke anakmu.”

Dimas Suryo (hal. 234)

 

“Menurutku pemilik sejarah adalah para perenggut kekuasaan dan kelas menengah yang haus harta dan tak keberatan duduk reriungan mesra bersama penguasa.”

Segara Alam (hal. 288)

 

“Aku merasa sinar mata Bapak selalu saja membuatku percaya: meski tak punya apa-apa selain kebaikan, kami akan tetap bertahan dalam hidup. Kalau Bapak masih hidup, mungkin yang ingin aku tanya adalah: apakah di negeri ini telah terjadi historical malpractice?” Ini terminologi ciptaanku belaka. Malpraktek sejarah.”

Segara Alam (hal. 290-291)

 

“Mengapa benda mati disebut sesuatu yang mati? Terkadang mereka lebih ‘hidup’ dan lebih jujur memberikan saksi.”

Lintang Utara (hal. 414)

 

***


Judul review buku ini terinspirasi dari artikel bbc yang berjudul: Kisah para eksil 1965: Mereka yang 'dibui tanpa jeruji' bisa dibaca di sini.

CONVERSATION

0 Comments:

Posting Komentar