Review Buku Ruang Milik Sendiri Virginia Woolf: Persoalan Perempuan dalam Dunia Sastra


Review Buku Ruang Milik Sendiri Virginai Woolf

Ruang Milik Sendiri atau dalam teks aslinya berjudul A Room of One’s Own karya Virginia Woolf telah membawaku ke pengalaman ‘mistis’ dalam membaca keterkaitan antara perempuan dan karya sastra.

Mengapa aku katakan ‘mistis’?

Mistis yang kumaksudkan di sini adalah bagaimana Woolf menuliskan sebuah esai kritik yang mengaburkan batas antara kenyataan dan fiksi. 

Dirinya banyak mengkritik budaya patriarki berikut posisi perempuan dalam karya sastra.

Buku setebal 135 halaman ini tentu termasuk buku yang tipis; yang seharusnya bisa dibaca sekali duduk. 

Aku pun sempat meyakini diriku akan bisa menyelesaikannya dalam waktu singkat. 

Ternyata aku salah akan prediksi diriku sendiri. Aku butuh waktu kurang lebih satu minggu untuk benar-benar menyelami pemikiran seorang Virginia Woolf.

Setelah sempat merasa kemungkinan-kemungkinan akan terjemahan yang membuatku kurang sreg, aku kemudian mendapati salah satu kawan bookstagram (@readbybilla) yang juga menyatakan bahwa dirinya cukup kesulitan membaca buku ini. Padahal kami memiliki buku dengan penerbit yang berbeda. 

Kawan-kawan lain yang terbiasa baca buku-buku sejenis ini @pustakahasani dan @bacaanalya juga mengaku kesulitan akan terjemahannya. 

Namun menurut mereka, ketika membaca bab-bab akhir buku ini, barulah terasa lebih lugas dan tegas. 

Apa yang kemudian membuat karya Woolf dalam enam bab A Room of One’s Own begitu mistis? 

Mari kita coba bedah satu-persatu melalui review buku Ruang Milik Sendiri.

Virginia Woolf: Seorang Feminis Humanis yang Hidup dengan Gangguan Jiwa

Meski orang-orang banyak menyebut Virginia Woolf ialah seorang feminis, ia menyangkal julukan tersebut. Ia menyatakan istilah ‘feminis’ hanya menunjukkan suatu obsesi tentang perempuan dan permasalahan mereka. Woolf kemudian menganggap dirinya seorang humanis.

Virgina Woolf ialah seorang novelis Inggris yang juga dianggap sebagai salah satu tokoh terbesar sastra modern abad 20.

Tidak sedikit media yang menuliskan bahwa Woolf hidup dengan gangguan jiwa. Dalam hidupnya, Woolf merasakan transisi masa feodal hingga kapitalis–lahir di zaman Victoria (1882) dan hidup dalam konteks sejarah serta politik besar selama tahun-tahun kehidupannya.

Beberapa di antaranya adalah aksi industri Inggris yang meluas pada tahun 1910-1912, Perang Dunia Pertama yang pecah pada tahun pada 1914-1918, Hitler terpilih sebagai kanselir Jerman dan pembakaran gedung Reichstag di tahun 1933, hingga meletusnya Perang Dunia II pada tahun 1939.

Dengan pengalaman masa kecilnya yang harus kehilangan orang tuanya di usia belia, pernikahannya yang tidak bahagia, dan Perang Dunia II yang berkecamuk di Eropa membuat dirinya depresi berat. 

Woolf memilih kematian yang tragis dengan menenggelamkan dirinya di Sungai Ouse pada tahun 1941. Ia menaruh puluhan batu dalam saku mantelnya sehingga membuat jasadnya baru ditemukan mengapung setelah menghilang selama dua puluh hari lamanya.

Permasalahan diri serta lingkungan sosial telah membuat Woolf menciptakan tulisan-tulisan besar yang menjadikannya salah satu penulis terpenting sepanjang masa. 

Meski sepanjang hidupnya tenar akan aktivitas menulis dan intelektualnya, Woolf baru dianggap sebagai ikon feminins dan perempuan penulis terpenting jauh setelah kematiannya, yakni pada tahun 1960-an. 

Saat itu, tulisan-tulisan Woolf menjadi kitab klasik bagi para pelajar studi sastra dan gender di berbagai universitas.

Pemikiran Virginia Woolf dan Posisi Perempuan dalam Karya Sastra

Siapa sangka, A Room of One’s Own–makalah yang dipresentasikannya di Universitas Cambridge (1928) kemudian menjadi tulisan Woolf yang paling esensial untuk mendalami pandangan feminisme modern.

Kalimat yang paling terkenal terletak pada halaman awal karyanya yang berbunyi:

 “Seorang perempuan harus memiliki uang dan dan ruang sendiri jika ia ingin menulis fiksi; dan seperti yang akan kau lihat, tetap menyisakan masalah besar yang tak terpecahkan soal apa itu perempuan dan apa itu fiksi. Perempuan dan fiksi, sejauh yang aku ketahui, tetap masalah yang belum terpecahkan” hlm. 2.

Dalam buku Ruang Milik Sendiri Virginia Woolf yang diterbitkan oleh Jalan Baru (2020), terdapat pengantar dari penerjemahnya yang menjelaskan isi buku secara komprehensif.

Khoiril Maqin selaku penerjemahnya memaparkan bahwa karya-karya Virginia Woolf penting untuk kita lirik jika ingin memahami kehidupan modern. Modernitas kemudian membentuk karya dan diri Woolf sebagai perempuan yang menulis.

Terlepas dari pemikiran Woolf sendiri, sesungguhnya aku tertarik membaca buku ini karena covernya yang indah. Entah kenapa ketika melihatnya, aku seperti diajak masuk ke dunia seorang perempuan penulis yang sedang duduk menghadap jendela di sisi kanannya.

Perempuan yang merenung di kamarnya, entah dirinya sedang mencari inspirasi atau sedang beristirahat sehabis menyelesaikan tulisannya dengan mesin tik.

Aku kemudian setuju dengan pernyataan Woolf terkait perempuan yang harus memiliki ruang sendiri untuk menulis. 

Pemikirannya tentu bukan tanpa alasan. Woolf yang hidup di abad 20 menuliskan kegelisahannya akan posisi perempuan yang terbelenggu patriarki jauh sebelum zaman Victoria.

Pada masa itu (sekitar abad ke-16), sangat tidak mungkin perempuan punya ruang sendiri untuk mengembangkan potensi diri, kecuali mereka yang merupakan anak keluarga bangsawan.

Budaya patriarki telah memiskinkan perempuan. Keadaan perempuan saat itu hanya diberi ilmu untuk melakukan pekerjaan domestik dan dipersiapkan orang tuanya untuk dijodohkan di usia belia. Sungguh berbeda dengan saudara laki-laki mereka yang bebas melakukan apa pun.

Woolf kemudian menyimpulkan bahwa selain perempuan harus punya ruang sendiri, mereka juga harus memiliki uang setidaknya sebesar 500-pound setiap tahunnya. Dalam bukunya, ia menyebutkan dua hal meterial tersebut berulang kali. 

“Kebebasan intelektual tergantung pada hal-hal materi. Puisi tergantung pada kebebasan intelektual. Dan perempuan selalu miskin, bukan hanya selama dua ratus tahun, tapi sejak awal waktu dunia mulai berputar. Itulah sebabnya aku menekan pada uang dan ruang milik sendiri” (hlm. 128).

Laki-laki kebanyakan menulis dengan sisi jantan mereka, yang menempatkan perempuan sebagai dewi mereka. Akan tetapi pada kenyataannya, perempuan di dunia nyata hanya dijadikan objek sosial dan budak rumah tangga.

Lantas muncul pertanyaan, bagaimana perempuan dapat hadir ketika perempuan dalam karya sastra merupakan penanda dalam wacana patriarki yang biasa menggambarkan perempuan secara sewenang-wenang?

Pada abad 19 pun, perempuan tidak didukung untuk menjadi seniman. Perempuan yang menulis tentang “perempuan dengan pikiran beradab” adalah sia-sia karena hal itu hanya dianggap omong kosong belaka.

Maka tak heran pada masa-masa itu, banyak perempuan yang kemudian menulis dengan nama pena laki-laki. Mereka menulis dengan gaya tulisan maskulin. Kebanyakan dari mereka juga hanya menulis novel dan sangat sedikit yang menulis puisi.

Tulisan-tulisan perempuan dikatakan berbunga-bunga dan menyembunyikan banyak duri. Hal tersebut kemudian menaruh rasa curiga Woolf, bahwa apakah benar perempuan-perempuan penulis pada masa itu benar-benar menuliskan tentang dirinya sendiri atau malah orang lain?

Menurutnya, sangat disayangkan jika perempuan menulis seperti laki-laki, hidup seperti laki-laki, atau terlihat seperti laki-laki, karena dua gender ini tidak bisa dibandingkan.

Woolf yang humanis kemudian menyimpulkan bahwa kita harus memiliki pikiran androgini, yang jelas bahwasanya bagi kedua gender untuk bekerja sama. 

Ia kemudian menutup esainya dengan menyatakan bahwa kita harus menulis apa yang kita ingin tulis tanpa perlu memikirkan apakah tulisan itu akan berguna untuk selamanya atau hanya berjam-jam. Kita harus memiliki kebiasaan kebebasan dan keberanian untuk menulis dengan tepat dari apa yang kita pikirkan.  

Woolf juga tidak membatasi perempuan untuk harus menulis fiksi. Perempuan bisa menulis buku-buku perjalanan dan petualangan, penelitian dan ilmu pengetahuan, sejarah, kritik filsafat dan sains hingga autobiografi.

Woolf memang memilih untuk menulis fiksi dan menurutnya fiksi akan jauh lebih baik jika berdiri tegak bersebelahan dengan puisi dan filsafat.

"Politik Bahasa Virginia Woolf" Bisa Jadi Teknik Menulis untuk Perempuan?

Hal unik dari buku Ruang Milik Sendiri ini adalah apa yang disebut dengan "politik bahasa Virginia Woolf".

Dirinya memang memiliki cara penyampaian khusus. Mungkin sebagai pembaca kita akan merasa tidak nyaman, diinstrupsi terus-menerus, terasa tersendat dan kurang lancar. 

Ada banyak pengulangan kata "tetapi" yang rasanya membuat pembaca tersendat membaca teks ini.  Di sisi lain, kata "namun" juga digunakan untuk memulai dan mengakhiri kalimat. 

Ini bukan tanpa alasan. Menurut pengantar penerjemahnya, Woolf seolah ingin memberi tahu pembaca tentang kesulitan memilih bentuk dan metode untuk mengekspresikan pengalaman mereka.

Kata "tetapi" juga dapat dianalisis sebagai getaran dari beberapa gangguan dalam kehidupan perempuan.

Kata "tetapi" memang kerap digunakan sebagai kata penghubung. Dalam kaitannya dengan marginalitas perempuan, kata "tetapi" berfungsi untuk menyatakan pengucilan dan penindasan perempuan itu sendiri.

Hal ini juga erat kaitannya dengan gaya penulisan Woolf yang self-conscious. Dirinya dengan kesadaran penuh mengkritik budaya patriarki yang melekat dan merugikan perempuan melalui tulisan. 

Melalui gaya penulisan Woolf, pembaca diajak untuk keluar dari aturan atau ilusi (tatanan sosial dominan) yang memiliki kekuatan untuk mengatur kehidupan mereka.

Maka kesimpulannya, perjuangan yang ingin dikemukakan Woolf adalah perlawanan yang dimulai dari bahasa itu sendiri.

Kelebihan dan Kekurangan Buku Ruang Milik Sendiri Virginia Woolf

Agaknya sudah sempat aku singgung apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan dari buku ini, tapi mari kita tampilkan dalam bentuk bullet point

Kelebihan

  • Covernya cakep, bukunya tipis, dan cukup seru menyelami pemikiran seorang feminis modern.
  • Ada pengantar dari penerjemahnya yang memudahkan pembaca menangkap isi pemikiran Virginia Woolf.
  • Merupakan tema yang cukup unik karena tidak banyak karya non-fiksi yang mengkritik sistem sosial (kehidupan perempuan) dengan  gaya bahasa bertutur seperti dalam buku-buku fiksi.
Kekurangan
  • Entah karena terjemahannya atau pemikiran Woolf sendiri yang bikin puyeng, tapi di bab 5, Woolf sendiri memang mengaku dia sudah melantur ke sana-kemari. 
  • Ada banyak nama-nama orang yang bikin aku pusing! Astaga, aku gatau nama siapa yang ia masukkan (kecuali Shakespeare). Apa saudaranya? tetangganya? rekaannya? Tapi beberapa nama sempat dijelaskan di pengantar penerjemah. Atau mungkin literasiku terkait sastra klasik masih rendah, jadi agak burem bacanya.

Posisi perempuan dalam karya sastra rasanya cukup jelas disebutkan dalam keenam bab A Room of One’s Own yang pastinya akan lebih terasa sensasinya ketika membaca teks aslinya dibanding hanya sebatas dari ulasan blog ini.

Selamat mengarungi pemikiran seorang Virginia Woolf!

Bacaan Lebih Lanjut;

https://cakrawalaide.com/ruang-miliik-sendiri

https://tirto.id/virginia-woolf-dan-pentingnya-ruang-sendiri-untuk-penulis-perempuan-eJgL

https://tirto.id/kisah-virginia-woolf-tokoh-sastra-abad-20-yang-berakhir-bunuh-diri-cDLw

 

CONVERSATION

1 Comments: