Yang Nyata dan Yang Terlewatkan: Review Buku Feminisme dan Nasionalisme di Negara Dunia Ketiga
Berbicara soal perjuangan perempuan memang tidak pernah ada habisnya. Setidaknya, ada empat gelombang feminisme yang mungkin akan terus berkembang seiring berjalannya waktu.
Dimulai pada abad ke-18, Marry Wollstonecraft dari Inggris menerbitkan buku berjudul A Vindication of The Right of Woman (1791) yang menjadi landasan feminisme modern.
Gerakan feminis kemudian berkembang dari Eropa hingga Amerika Utara melahirkan feminisme gelombang kedua yang identik dengan feminisme radikal, sosialis, dan liberal.
Feminisme gelombang ketiga kemudian lahir sebagai bentuk keragaman gagasan perjuangan perempuan yang mengusung perubahan yang melampaui pemikiran-pemikiran sebelumnya: pos-struktural, posmodern, hingga poskolonial.
Perjuangannya menolak sistem yang mapan dan lebih melihat pada sesuatu yang marginal dan terlupakan.
Tidak berhenti sampai di situ, gelombang feminisme keempat berjalan beriringan dengan pemikiran sebelumnya, namun lebih menekankan interseksionalitas dan teknologi.
Bukan hanya membahas soal kesetaraan gender, tetapi melihat kaum terpinggirkan dengan memerhatikan bagaimana penindasan berdasarkan jenis kelamin, ras, kelas sosial, agama, dan faktor-faktor lain saling berhubungan.
Aktivisme media sosial juga identik dalam gelombang ini.
Jika perempuan-perempuan di negara Eropa dan Amerika di atas telah menuntut hak-hak mereka sejak abad ke-18, bagaimana dengan perempuan di Asia, Afrika, dan Timur Tengah?
Kemunculan gerakan perempuan di Negara Dunia Ketiga kemungkinan lebih lambat satu abad dari pendahulunya. Mengapa hal ini bisa terjadi dan bagaimana relevansinya hingga sekarang?
Pertanyaan di atas sedikit-banyaknya akan dijelaskan melalui review buku Feminisme dan Nasionalisme di Negara Dunia Ketiga karya Kumari Jayawardena di bawah ini.
Apa Itu Feminisme Dunia Ketiga?
Berbeda dari feminisme barat yang berakar dari negara-negara maju yang mapan. Isu-isunya seputar hak suara, kesetaraan hukum, hak-hak reproduktif, dan akses terhadap pendidikan serta pekerjaan yang setara bagi perempuan kulit putih di negara-negara maju.
Sedangkan feminisme dunia ketiga melihat serangkaian ketertindasan akibat kolonialisme, imperialisme, hingga eksploitasi global.
Bukan hanya itu saja, perjuangan dari feminisme dunia ketiga hingga kini kemungkinan masih bergelut dengan tradisi-tradisi kuno di negaranya yang membatasi kehidupan perempuan.
Seperti misalnya sistem dowry di India yang mengharuskan pengantin perempuan memberikan mahar pada calon suaminya sehingga membebani keluarga perempuan.
Praktik purdah di Afghanistan yang mewajibkan perempuan mengenakan pakaian yang menutup seluruh tubuhnya dan mengisolasi mereka dari kegiatan publik.
Di beberapa negara lain juga masih menganut sistem kasta yang membungkam suara perempuan karena berasal dari kasta terendah, poligami, kawin paksa, sunat perempuan, dan berbagai kontrol patriarki yang pastinya begitu merugikan perempuan di Negara Dunia Ketiga.
Beragam permasalahan di atas tentu saja tidak bisa disamakan dengan pemikiran feminisme Barat yang dianggap tidak bisa mewakili serangkaian permasalahan yang dialami perempuan dunia ketiga.
Melalui buku Feminisme dan Nasionalisme di Negara Dunia Ketiga, Kumari Jayawardena merangkum beragam permasalahan yang dialami perempuan-perempuan di Turki, Mesir, Iran, Afghanistan, India, Sri Lanka, Indonesia, Filipina, Tiongkok, Vietnam, Korea, dan Jepang.
Kedua belas negara tersebut tentu saja memiliki perjalanannya masing-masing untuk mencapai kesetaraan antara perempuan dan laki-laki.
Jayawardena bukan hanya memetakan pencapaian perempuan dunia ketiga untuk menuntut hak-hak mereka, tapi turut merangkum perjalanan panjang perempuan dalam memerangi imperialisme hingga beban domestik tanpa melunturkan semangat nasionalisme yang mereka miliki.
Kumari Jayawardena sendiri merupakan seorang aktivis dan akademisi feminis dari Sri Lanka. Ia banyak memperjuangkan hak-hak sipil di negaranya. Karya-karyanya disebut sebagai bagian dari kanon feminisme Dunia Ketiga.
Bentuk-bentuk Perjuangan Feminisme Dunia Ketiga
Menurut Jayawardena, feminisme di dunia ketiga tidak dapat dipisahkan dari nasionalisme.
Perjuangan perempuan untuk menuntut hak-hak mereka kebanyakan beriringan atau sebagian besar merupakan bagian dari gerakan nasionalis melawan penjajahan.
Artinya, perempuan terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, tetapi mereka juga menggunakan momen tersebut untuk menuntut hak-hak mereka sendiri.
Perjuangan perempuan dunia ketiga menurutnya bersifat dua arah, yakni melawan kekuatan eksternal (penjajahan) dan melawan kekuatan internal (patriarki dalam budaya dan agama setempat).
Kedua belas negara yang dibahas dalam buku ini memiliki satu faktor kesamaan di mana negara-negara tersebut secara langsung menjadi sasaran agresi dan dominasi oleh kekuatan imperialis yang menancapkan kedudukan di negara mereka atau secara tidak langsung melayani kepentingan imperialisme.
India, Sri Lanka, Indonesia, Vietnam, dan Filipina menjadi bagian dari kekaisaran kolonial. Sedangkan Mesir dan Iran dikerdilkan sehingga berstatus semi-kolonial. Kekaisaran Turki semakin terpecah belah.
Di sisi lain, Jepang mendapat tekanan dari negara barat untuk membuka diri terhadap perdagangan dan Tiongkok menjadi mangsa perambahan kekuatan perdagangan asing yang ingin mengeksploitasi sumber daya mereka.
Meskipun kedua belas negara ini telah lazim disebut negeri ‘Timur’, mereka juga menyajikan kekhususan tertentu yang berkaitan dengan latar belakang ideologi mereka.
Seperti halnya Mesir, Turki dan Iran yang memiliki sejarah Islam sehingga membentuk sikap berikut respons mereka.
India dan Sri Lanka mewarisi peradaban berdasarkan doktrin Hindu dan Buddha serta menunjukkan persamaan dan perbedaan satu sama lain.
Di sisi lain, Tiongkok, Jepang dan Korea memiliki karakteristik umum yang identik dengan ideologi konfusianisme.
Sedangkan Vietnam, Filipina, dan Indonesia dalam berbagai masa telah merasakan tekanan dari dua peradaban kuno yang dominan di Asia seperti India dan Tiongkok.
Masing-masing negara tersebut memiliki perjuangannya masing-masing dalam memerangi imperialisme dan tradisi kuno sebagai warisan budaya yang mereka miliki.
Relevansi Feminisme Dunia Ketiga di Masa Sekarang
Hingga saat ini, negara-negara dunia ketiga yang merupakan negara berkembang masih memiliki beragam persoalan yang belum selesai terkait permasalahan perempuan.
Di masa sekarang, perempuan di negara-negara dunia ketiga masih menghadapi persoalan seperti kemiskinan, ketidaksetaraan pendidikan, akses kesehatan yang buruk, dan kekerasan berbasis gender, yang sering kali diperparah oleh ketidakstabilan politik dan globalisasi.
Bukan hanya persoalan domestik saja, perempuan di negara ketiga juga terkena dampak dari eksploitasi tenaga kerja, perdagangan manusia, dan kontrol ekonomi oleh negara-negara kaya. Mereka juga tidak memiliki kontrol penuh terhadap tubuhnya sendiri.
Hingga saat ini, Feminisme Dunia Ketiga berusaha menghubungkan hak-hak perempuan dengan isu-isu sosial, ekonomi, dan budaya yang lebih luas.
Ada pun yang paling penting, feminisme dunia ketiga tidak bisa serta-merta menyerap solusi yang ditawarkan oleh feminisme barat karena dirasa kurang relevan.
Beberapa gerakan perempuan di atas hanyalah sebagian kecil dari negara dunia ketiga. Jika ditelaah lebih dalam, masih banyak gerakan feminisme dunia ketiga yang dapat menjadi sorotan seperti halnya yang terjadi di Amerika Latin.
Kelebihan dan Kekurangan Buku
Melalui pembacaan buku dalam waktu singkat, buku ini tentu memiliki kelebihan dan kekurangan yang dapat dikembangkan lebih lanjut.
Bagi saya yang terbiasa disisipi (diharuskan) belajar pemikiran Barat, buku ini seperti mereka ulang apa yang terjadi di negara-negara sekitar saya, utamanya apa yang terjadi di Indonesia.
Literatur terkait feminisme di Indonesia bisa dikatakan tidak sebanyak feminisme-feminisme lainnya atau kebanyakan ditulis bukan dari perempuan penulis Indonesia.
Kelebihan buku ini tentunya dapat menambah pengetahuan terkait apa yang menjadi permasalahan bagi perempuan lintas batas yang kerap terlewatkan dari perspektif feminisme barat atau pada umumnya.
Buku setebal 320 halaman ini sepertinya tidak cukup dibaca sekali saja, tetapi sebaiknya dibaca berulang kali agar kita dapat memahami perkembangan feminisme dengan karakteristik sosial-budaya yang berbeda dari setiap negara.
Terjemahan dari buku ini juga dirasa cukup baik, namun yang patut diperhatikan dan kemungkinan menjadi kekurangan dari buku ini adalah ukuran huruf yang dirasa lebih kecil dibandingkan buku-buku pada umumnya.
Selama ini, kita mungkin lebih banyak mempelajari pemikiran feminisme barat, yang memaksakan pandangan bahwa perempuan di seluruh dunia mengalami penindasan dengan cara yang sama, tanpa cukup mempertimbangkan konteks ras, kelas sosial, dan budaya.
Maka dari itu, membaca buku Feminisme dan Nasionalisme di Negara Dunia Ketiga dapat menjadi alternatif untuk meneropong gejolak perjuangan perempuan yang memerangi imperialisme sekaligus berusaha membebaskan diri dari negara sendiri yang masih membatasi diri mereka.
Tertarik membaca buku ini?
Buku ini bisa dipesan di Penerbit Semut Api melalui Instagram dan kanal pemesanan mereka yang bisa diakses di sini.