Review Buku Titik Nol: Kisah Perjalanan Menembus Batas Diri

 

Buku Titik Nol


Titik Nol karya Agustinus Wibowo adalah tulisan perjalanan terbaik yang kubaca tahun ini.

Ketika tengah mencari referensi untuk menulis cerita perjalanan yang ‘berbeda’, akhirnya aku menemukan buku ini sebagai referensi.

Buku ini bukan hanya membahas tentang negara-negara mana saja yang disambangi oleh Agustinus, tetapi aku cukup bisa merasakan petualangannya yang terasa menakjubkan.

Ia memaparkan kehidupannya di negeri leluhur Tiongkok untuk menempuh studi dan malah memutuskan berkelana menyusuri negara-negara di Asia Selatan yang menyimpan hal-hal yang belum pernah kubayangkan sebelumnya.

Perjalanannya dimulai saat Agustinus berkelana ke Xinjiang, sebuah daerah yang ditempati oleh kebudayaan Uyghur. Mereka adalah etnis minoritas di tanah mereka sendiri.

Orang Uyghur adalah umat Muslim yang menempati negeri Tirai Bambu tersebut. Orang-orang di sana ternyata bahkan tidak digubris oleh negaranya sendiri dan anti dengan orang asing.

Ajaibnya, ketika Agustinus ingin menarik perhatian mereka, ia lantas mengenakan songkok hitam sebagai identitas umat Muslim. Dengan bangganya, ia menyebut dirinya seorang Muslim dari Indonesia.

Sontak, semua mata jadi tertuju padanya dan ia malah diajak mengobrol banyak tentang Indonesia karena dirasa menjadi saudara se-iman.

Petualangan Agustinus kemudian dilanjutkan ke Tibet, sebuah negeri yang dijuluki “Atap Dunia”. Ia mencoba mengelilingi Kailash untuk memulai ziarah alam ala orang Tibet untuk mendaki hingga puncak gunung.

Selain itu, ia bahkan sempat mencicipi Puncak Everest yang menjadi mimpi para pendaki andal. Meski pada akhirnya hal itu membuatku tersadar bahwa saat ini, Tibet malah terasa seperti taman bermain dengan wahana utama: “Buddhism Adventure”.

Buku Titik Nol
Ada banyak gambar yang mendukung tulisannya.

Jika sebelumnya aku membayangkan Tibet adalah daerah untuk melakukan perenungan ala Buddha, ternyata di sini malah banyak komersialisasi agama. 

Apa-apa penuh dengan retribusi untuk mengunjungi kuil-kuil yang sekarang dicat mengkilap. Bahkan untuk merekam gambar dengan kamera profesional di kuil pun juga harus merogoh kocek yang tak sedikit.

Perjalanan kembali dilanjutkan ke Nepal kemudian ke India. Agustinus bahkan sempat mengalami kecopetan ketika berada di Nepal dan malah terkena pelecehan seksual oleh karyawan hotel tempat ia menginap di India.

Bukan hanya itu, ia juga tiba-tiba terkena hepatitis dan harus opname di salah satu rumah sakit India yang menggratiskan biaya pengobatan, meski pelayanannya sungguh buruk sekali.

Buku Titik Nol

Perjalanan ia lanjutkan ke Pakistan dengan alasan untuk menjadi relawan untuk korban gempa yang terjadi saat itu. Di Paskistan, ia menyadari bahwa ada pengkotak-kotakkan antara perempuan dan laki-laki. Keduanya dipisahkan bagai air dan minyak jika belum ada ikatan pernikahan.

Namun lucunya, ia malah pernah diajak ke tempat untuk menyewa pekerja seks dalam malah kembali ‘terkena’ pelecehan seksual oleh laki-laki.

Setelah beberapa lama berkelana, Agustinus akhirnya berlabuh ke Afghanistan. Perjalanannya berhenti di negara perang tersebut karena telah kehabisan bekal. Ia kemudian bekerja menjadi jurnalis perang.

Di sana, ia dihadapkan dengan bom yang tiba-tiba saja sudah meledak tanpa diduga. Ledakan bom dan daging manusia yang berserakan adalah hal biasa yang terjadi bagi masyarakat Afghanistan.

Ia begitu tersiksa karena menyaksikan orang-orang terlantar, kelaparan, dan bayi malnutrisi yang harus buru-buru ia abadikan untuk sebuah pekerjaan.

Perjalanan berakhir ketika pada akhirnya, Agustinus diberi kabar bahwa mamanya sedang mengidap kanker. Ia akhirnya kembali ke Indonesia dan berfokus pada pengobatan ibunya. 

Namun, sesungguhnya cerita-cerita tentang mamanya yang mengidap kanker beserta seluruh cerita keluarganya telah terselip di setiap bab dalam buku ini. Agustinus secara apik mengolah alur maju-mundur (campuran) dalam satu buku setebal 550 halaman ini. 

Buku Titik Nol
Buku ini juga banyak kata-kata filosofis.


Buku Titik Nol
Salah satu kata-kata favoritku.

Kelebihan Buku Titik Nol

  • Covernya cantik. Berwarna hitam dan minimalis. 

  • Cerita perjalanannya unik, sungguh berbeda dengan travel writing yang pernah kutemui.

  • Pembaca seolah-olah turut diajak berkelana bersama si penulis. Agustinus benar-benar mengolah buku ini dengan bahasa yang menggugah.

  • Ada banyak kata-kata filosofis yang sarat akan makna. Mulai dari ajaran Hindu, Buddha, hingga Islam yang terangkai dengan indah.

  • Agustinus banyak menyelipkan kisah hidupnya yang dapat membuat pembaca termotivasi.

  • Selain cerita perjalanan, penulis juga menyelipkan banyak potret perjalanannya sehingga pembaca dapat membayangkan keadaan di lokasi.

Kekurangan Buku Titik Nol

  • Jika kamu bukan penyuka buku yang bersifat naratif, mungkin akan merasa jenuh membacanya, karena memang penuh dengan cerita dan kalimat panjang.

  • Menurutku, membaca buku ini tidak bisa dipaksakan untuk cepat-cepat diselesaikan. Perlu waktu luang dan pikiran yang tenang agar dapat menyerap maknanya secara maksimal.

Harga buku Titik Nol ini dibanderol Rp130.000 di Gramedia dan ini merupakan buku yang layak dibeli dan dibaca. Bukunya tebal, gambarnya berwarna, dan harganya menurutku masih sangat terjangkau.

Apakah kamu tertarik membaca buku ini?

CONVERSATION

0 Comments:

Posting Komentar