Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori telah berhasil membuat aku semalaman penuh merenungkan nasib “mereka yang dihilangkan”. Tentang rentetan penculikan aktivis (mahasiswa) 1998. Tentang mereka yang memperjuangkan demokrasi sehingga tak sempat mengecap sebuah “Indonesia yang lain”. Bagaimana bisa kisah dari Laut dan kawan-kawannya terasa begitu nyata?
Banyak orang mungkin telah membaca novel
sejarah Laut Bercerita. Sejak diterbitkan pada tahun 2017, novel ini bahkan setia
bertengger di rak best seller salah satu toko buku kenamaan Indonesia.
Banyak yang menyebutkan, bahwa sampulnya memang cantik, tapi ceritanya begitu
kelam dan menyedihkan.
Buku yang aku pinjam dari salah satu
kawan, Citta Mandala yang begitu saja menodongku untuk membacanya, tidak
langsung ku baca begitu saja. Maklum, aku sekarang tak punya banyak waktu untuk
membaca. Lebih tepatnya, aku terlalu malas berkutat dengan bacaan yang berat.
Namun, karena tak enak meminjam "harta" orang berlama-lama, aku mencoba membaca novel ini dengan penuh kehati-hatian. Jangan
sampai sampulnya lecek atau kertasnya berlipat, seperti buku-buku yang biasa aku
punya. Bahkan terkadang aku sangat tega menodai isi bukuku dengan stabilo warna-warni.
Kali ini aku ingin menikmati novel ini
begitu saja. Memang seseru apa? Apa memang sesedih itu kah?
Matilah engkau mati
Kau akan lahir berkali-kali…
Sebait puisi menghiasi prolog novel ini
dan langsung membeberkan bagaimana Biru Laut, tokoh utama dari novel ini
menghadapi kematiannya. Kemudian cerita berlanjut. Ada dua bab yang
menceritakan kisah dari sudut pandang Biru Laut di bab pertama dan dari sisi
Asmara Jati, adik Laut di bab kedua. Alur ceritanya menggunakan alur campuran. Dimulai
pada tahun 1991, lompat ke tahun 1998, kemudian berlanjut ke tahun 1993 hingga
2007.
Menurut aku sebagai pembaca, yang istimewa dari novel ini adalah: kita juga bisa sekaligus mempelajari sejarah
(kelam) bangsa ini yang mungkin tidak bisa ditemukan di buku-buku sejarah pada
umumnya. Bagaimana gejolak aktivis mahasiswa tahun 1990-an yang begitu membara
untuk menumbangkan penguasa yang dirasa ditaktor saat itu.
Penulisnya juga mengemas secara apik
bagaimana rentetan perjuangan mahasiswa saat itu, seperti aksi Tanam Jagung
Blangguan tahun 1993 yang memperjuangkan ladang jagung petani setempat karena beralih
fungsi menjadi area latihan tempur tentara.
Aksi yang saat itu dibatalkan karena blokade militer membuat para mahasiswa yang berhasil bersembunyi di rumah-rumah
penduduk kabur dengan merayapi ladang dan mengakhiri aksinya di gedung DPRD
Surabaya. Aksi tersebut benar-benar ada dan bisa di baca di sini.
Bagaimana kemudian karena aksi tersebut,
mereka juga ditangkap oleh intel-preman untuk disiksa dengan pukulan dan sengatan
listrik. Bagaimana akhirnya mereka dibungkam dan tidak bisa diberikan kebebasan
untuk mengakses bacaan-bacaan “kiri” sehingga harus difotokopi perbanyak dan
melapisinya dengan kertas koran agar tidak tercium oleh aparat.
Bagaimana selama dua tahun, mereka harus
hidup dalam perburuan. Berpindah-pindah, mengganti identitas hingga akhirnya
diculik, disiksa, dan dihilangkan secara paksa. Bagaimana perasaan keluarga dan
orang-orang terdekat yang tak terima anaknya hilang, entah jika mati pun,
mereka tak tahu harus berziarah ke makam yang mana.
Semua begitu apik diceritakan oleh Leila
S. Chudori dan membuat aku ingin terus-terusan melahap halaman-halaman
selanjutnya hingga habis tak tersisa. Sungguh cerita yang luar biasa.
Dari sisi Asmara Jati pun, ceritanya
juga turut menyayat hati. Diceritakan bahwa orangtuanya yang disebutkan
bagai berada di dalam kepompong hari minggu. Ketika ibunya memasak masakan
kesukaan Laut dan ayahnya yang selalu menyiapkan empat piring baru di meja makan. Tahu-tahu Laut bisa saja datang entah dari pintu depan atau jendela untuk makan siang bersama
mereka di setiap hari minggu.
Bagaimana Leila S. Chudori bisa menulis
novel selugas ini?
Setelah aku cari tahu, bahkan di halaman
ucapan terima kasih juga disebutkan bahwa karyanya ini merupakan hasil riset
selama bertahun-tahun. Karyanya juga tidak terlepas dari salah satu rekannya,
Nezar Patria yang berhasil selamat dari peristiwa kelam tersebut dan memintanya
menuliskan kisahnya di majalah Tempo.
Menurut aku, novel ini memang menceritakan
kronologi sejarah sebagaimana mestinya. Termasuk jumlah aktivis mahasiswa yang
hilang (terhitung ada 13 orang). Namun penokohannya memang fiktif, bisa jadi
satu orang tokoh tersebut melingkupi beberapa tokoh aslinya.
Cerita yang sangat menggugah meski kelam
dan sungguh membuat aku semakin bersemangat untuk mempelajari sejarah bangsa
ini.
Novel Laut Bercerita berapa halaman?
Sampai epilog, novel ini berjumlah 373 dan hanya butuh tiga hari untuk aku berhasil menyelesaikannya, karena memang seseru itu!
Harga novel laut bercerita di e-commerce berkisar antara Rp80.000
hingga Rp100.000. Sedangkan harga novel Laut Bercerita di Gramedia adalah
Rp100.000.
Novel ini cocok untuk kamu yang ingin belajar
sejarah awal, sebelum benar-benar menyentuh kisah aslinya.
Bangus banget kak 🙌
BalasHapusTerima kasih!
HapusWahhh sumber refrensi baru nih
BalasHapusYuhuu
HapusIni karya laela s cudori itu ya
BalasHapusBetul, kak!
Hapus