Pelarian




Ketika berbicara mengenai hidup, memang ngga ada habisnya. Pahit-manis kehidupan barangkali sudah dilewati tiap orang, tergantung pula pada usia. Aku yakin semua orang pernah mengalami titik terendah dalam hidupnya, entah kapan kita semua akan mengalaminya. Apakah kita harus percaya takdir? Dulu aku sama sekali tidak percaya apa itu takdir, kenapa orang bisa beranggapan bahwa “yang terjadi memang seharusnya terjadi?”. Aku lebih percaya pada perbuatan yang kita lakukan adalah apa yang akan kita dapatkan nantinya. Sekarang pun aku mulai sedikit percaya dengan ‘takdir’, meskipun ada beberapa hal yang ngga bisa dijelaskan dengan akal sehatku sendiri.

Kembali ke titik terendah dalam hidup. Aku merasa aku pernah berada pada masa-masa kelam dalam hidupku. Sungguh tidak enak dan merepotkan! Hal ini sesungguhnya ingin ku simpan rapat-rapat sebagai rahasia ku, tapi ternyata bukan aku sajalah yang pernah merasakan hal ini. Orang-orang disekitarku pun pernah, bahkan lebih parah daripada yang pernah aku rasakan. Dalam hati aku bersyukur karena cobaan yang aku pernah alami tak separah apa yang orang lain alami, tapi lagi-lagi rasa empatiku bergerak, haruskah aku menolong mereka?

Jika aku bercermin pada diriku yang dahulu, sungguh berbeda dengan apa yang ku alami sekarang. Dulu, aku hanyalah orang biasa, pemalu, ngga pede sama sekali, dan introvert. Aku sama sekali ngga tau apa itu bullying sewaktu kecil. Aku hanya tau itu hanya ejek-ejekan biasa. Fisikku sempurna, tapi di mata orang lain aku dianggap “hitam” dan namaku cukup asing, sehingga selalu menjadi bahan ejekan. Aku menganggapnya biasa saja, tapi terkadang aku sebal dengan apa yang aku alami. Kenapa harus aku? Hal ini yang ku anggap sebagai salah satu masalah yang membuat aku gak pede-an. Tapi semua berjalan biasa saja, sampai aku menginjak remaja, aku tau apa itu ambisi. Aku tau bagaimana meningkatkan kualitas hidupku sewaktu itu, terutama dalam pendidikan. Mungkin waktu dulu aku pintar dalam pelajaran sekolah, cemerlang dalam kegiatan belajar. Aku selalu menyelesaikan apa pun yang menjadi tanggung jawabku.

Tapi, semua itu berubah ketika usiaku memasuki 17 tahun. Saat itu kehidupanku seperti jungkir balik! Sungguh bukan seperti aku yang dulu. Aku ngga tau bagaimana kapasitas diriku yang sebenarnya. Aku sulit mengontrol emosi, ambisiku hilang, tertekan, tidak bisa mengungkapkan maksudku ke orang lain. Apa yang menjadi tanggung jawabku, aku buang mentah-mentah, tidak terselesaikan. Termasuk pendidikanku. Saat itu aku putus asa bahwa aku salah jurusan sekolah. Aku ngga bisa matematika, ngga ngerti kimia, fisika, sekeras apapun aku belajar aku ngga akan pernah bisa mengerti. Sampai sekarang aku masih memiliki penyesalan karena dulu aku mengganti jurusan ips ke jurusan ipa. Mungkin itu hanyalah masalah klasik yang dialami remaja biasa. Tapi itu berdampak serius pada masalahku yang lain. Aku ngga bisa fokus sama semua hal yang aku rasakan, perasaan takut selalu menyelimuti diriku. Apalagi saat itu aku akan lulus dan melanjutkan kuliah. Tapi rasanya aku ingin berhenti saja…

Atas semua yang aku rasakan, motivasi rendah, menyesal, takut, mungkin aku memang dianggap depresi pada saat itu. Aku berobat kemana-mana dengan paksaan. Aku ngga mau melakukan itu, aku hanya ingin menyelesaikan sendiri. Tapi orang-orang terdekatku seperti tak mau mengerti. Mereka selalu mencari jalan keluar untukku, tapi semakin aku dibantu, aku semakin menolak untuk membaik. Setelah 6 bulan berjalan, aku membaik. Aku hidup normal dan lebih hiper. Aku masa bodoh dengan sekolahku, aku hanya masuk sekolah dan mengikuti apa yang seharusnya dilakukan dan aku lulus sekolah dan melanjutkan kuliah. Akhirnya aku diterima kuliah dijurusan sosial. Tidak ada lagi hal-hal eksak yang akan aku pikirkan. Tapi, baru menginjak pintu masuk kuliah, aku kena masalah lagi!

Aku ngga kuliah selama satu semester pertama. Motivasiku kembali rendah seperti tidak punya tujuan. Entah sudah berapa orang yang datang untuk membantuku. Aku tetap kukuh dengan pendirian bahwa aku ingin menyendiri dulu. Hal tersulit yang pernah aku alami, seolah-olah aku sudah memperlihat kesan yang tidak menyenangkan pada orang-orang baru di masa kuliah. Tapi entah apa yang mendorongku untuk kembali kuliah, padahal aku sudah sangat ketinggalan dan nilaiku benar-benar jeblok! Akhirnya aku kembali kuliah dengan pikiran bahwa “yaah aku hanya menjalaninya untuk menjadi manusia normal yang seharusnya”.
Aku kembali kuliah di semester kedua. Aku masih takut. Takut menghadapi diriku sendiri, siap atau tidak menjalani semua. Untung saja orang-orang yang ku kenal sangat baik padaku. Aku mulai membenahi diriku. Mencari pelarian. Aku sadar tidak ada yang bisa aku lakukan di luar. Aku mencoba menulis. Cerpen pertama aku kirimkan ke buletin jurusan dan dimuat. Aku tau itu hanyalah hal kecil, tapi aku ngga mau menyerah. Aku mencoba mengirimkan tulisanku ke lomba-lomba di fakultas lain. Awalnya aku hanya menjadi finalis, harapan III, hingga mencapai juara I, bisa pergi ke luar kota ikut lomba dan dapat juara lagi. Tapi untuk apa aku melakukan ini semua? Yah, aku pikir itu hanya pelarianku.



Beberapa 'pelarian' yang membuahkan hasil 
Umurku yang masih sangat muda saat itu mungkin telah dianggap sebagai depresi. Terkesan menyeramkan ketika kita mendengar orang yang depresi. Mungkin semua orang bisa menjadi setres, tapi ada yang bisa survive dan membaik. Tapi untuk depresi? Sangat sulit untuk membaik jika kita ngga punya keinginan untuk mencoba menekannya. Syukurnya aku dulu hanya bergulat pada pikiranku, ngga pernah sampai melukai fisikku. Tapi orang lain? Mungkin saja lebih parah daripada aku! Jika kita mencoba menghibur orang-orang yang sudah tertekan, mungkin akan sulit diterima bagi mereka. Satu-satunya cara bagiku adalah berjanji pada diri sendiri untuk mencoba lebih baik. Hanya diri kita lah yang bisa menyembuhkan diri sendiri. Cobalah cari pelarian yang menurut kita baik untuk diri sendiri. Coba mencintai pelarian itu. Hal itu akan membuat kita lebih fokus dengan apa sesungguhnya diri kita sendiri.
Dan sekarang aku sudah mulai menata hidupku, tau yang mana yang menjadi prioritasku. Meskipun aku masih bisa merasa setres dan tertekan. Setidaknya aku tak ingin kembali merepotkan orang lain. Mungkin ke depannya akan lebih sulit untuk menjalani hidup. Tapi aku percaya apapun yang terjadi, maka jalanilah dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing.

Mungkin sulit untuk menerima cerita ini, tapi ini juga merupakan pelarian dari emosiku yang meluap-luap saat menulis ini. Aku bersyukur masih bisa melanjutkan hidupku saat ini. Semoga orang yang pernah atau sedang merasakan titik terendah dalam hidup akan bisa menata kembali hidup sesuai dengan apa yang diinginkan. Aku bukanlah ahli psikologi atau apapun itu, ini hanyalah sepenggal pengalamanku semoga bisa membantu yang sedang merasakan apa yang pernah aku alami. Semoga kita sehat selalu!

CONVERSATION

1 Comments:

  1. Cerita yang menarik dan inspiring. Semua orang mempunyai cerita masing-masing, jg pernah menyerah dan terus bekarya. :)

    BalasHapus