Spektrum Memori


Perlahan, pikiran-pikiran itu mulai merasuki diriku, hal-hal yang seharusnya aku lupakan, memaksaku untuk menumpahkannya dalam Spektrum Memori...

Hidup kadang lucu, bahkan ngga perlu dipikirin, bakal kejadian yang belum tentu diinginkan. Kadang aku berpikir bahwa dalam menjadi ‘diriku’ aku bisa berubah sesuai kehendakku. Entah itu aku ‘ingin’ berbaur dengan orang lain, menarik diri, hingga menyendiri dalam waktu berbulan-bulan! Apakah kalian sebagai individu pernah merasakan hal-hal yang ter-ngga jelas dalam hidup? Mungkin untuk sebagian orang beranggapan bahwa “hidup untuk dijalani”, “let it flow!”, “kamu hanya hidup sekali, buat apa gundah gulita terus-terusan?”. Wow! Kadang aku merasa orang-orang yang dengan ‘mudahnya’ bilang seperti itu adalah orang yang mudah mencari kebahagiaan. Pernahkah kalian merasakan bahwa dalam satu ‘keadaan’ pada diri orang lain sama seperti yang kalian rasakan? atau mungkin kalian hanya merasa simpati padanya? Mungkin dari berbagai hal yang pernah dialami seseorang hanya beberapa saja yang ingin diingat, sisanya dilupakan perlahan, namun terkadang serpihan memori yang terlupakan perlahan hadir kembali dan terangkai dalam spektrum memori…

“Spektrum Memori” bukanlah istilah khusus di dunia apa pun, itu hanya istilah yang aku buat dalam ‘kegabutanku’ kemarin-kemarin. ‘spektrum’ merupakan rangkaian atau urutan yang bersinambungan (dalam KBBI V loh ya…) dan memori… yah, tentu saja secara sederhana adalah ‘ingatan’. Jadi “spektrum memori” dapat didefinisikan sebagai rangkaian ingatan (yang pernah terlupakan) dan berututan membentuk cerita hidup. Dalam hidup pasti pernah kan ada keinginan untuk melupakan suatu kejadian yang bikin sakit hati bahkan terpuruk. Apakah itu merupakan hal yang pantas untuk dilupakan, atau kita harus belajar dari ingatan-ingatan tersebut?

Tetapi, tentu boleh kan jika aku menceritakan sedikit bagaimana “Spektrum Memori” yang terkadang berputar-putar di kepalaku dan untuk membuatnya lega, aku harus menumpahkannya melalui jari-jariku…

“Aku yang dulu bukanlah yang sekarang!”
Ini bukan lagu loh ya he..he..he… mungkin memang benar adanya sepenggal lirik lagu tersebut untuk mendeskripsikan bagaimana hidup kita sekarang. Aku pun begitu. Aku pernah memiliki nyali yang ciut, malu mengutarakan sesuatu, pendiam, hingga agak ambisius, ambisius tingkat akut, sampai hiperaktif! Oh, apakah aku orang yang ‘aneh’ karena kepribadianku yang gonta-ganti? Tentu aku bingung menjelaskannya, namun itulah yang aku rasakan. Dahulu aku memang bukanlah orang yang konsisten dalam menjadi diriku sendiri. Lalu, apakah itu memberi perubahan dalam hidup? Iya! Itu yang aku rasakan saat ini. Ada sebagian orang di dunia ini yang memiliki sifat “tidak enak-an” sehingga tidak bisa menolak permintaan orang lain. Bisa jadi jika terus-terusan dilakukan akan menyiksa batin dam membuat tertekan. Lain halnya jika menolong karena memang “ikhlas”. Tapi kenyatannya, aku bukanlah orang yang cukup ikhlas untuk “memberi” dan “menerima”. Yah, kalau boleh jujur dulu aku memang selalu ‘ingin’ untuk memberikan yang terbaik pada orang lain dibandingkan untuk diriku sendiri. Saat itulah aku tidak bisa menemukan ‘arti’ diriku yang sesungguhnya. Lambat-laun aku merasa hal tersebut tidaklah membahagiakan diriku sendiri selamanya. Aku butuh hidupku sendiri.

Masa Sekolah yang mengubahku.
“Sewaktu Sekolah Dasar, anggota kelasku terbagi dua karena konflik dan orang-orang pada berlindung masing-masing dalam dua kelompok tersebut, untuk menyelamatkan diri agar mempunyai teman. Tidak dengan aku. Aku ingin ‘netral’ walaupun pada saat itu aku belum mengenal istilah ‘netral’. Aku tak ingin masuk ke kedua kelompok tersebut walaupun aku ditarik-tarik dan dirayu untuk menjadi salah satu kelompok mereka. Syukurnya tidak ada yang memusuhiku, dan kami semua tetap berteman karena salah satu provokatornya pindah sekolah.”.

“Sekolah Menengah Pertama yang cukup membahagiakan bagiku karena aku merasa punya segalanya; prestasi, teman, dan disayang guru-guru. Tapi ada perasaan aneh yang melekat dalam diriku. Aku tidak bisa berteman dengan seorang ‘sosialita’. Aku merasa tidak se-level dengan mereka. Mereka kaya, gaul, dan hanya dekat-dekat dengan yang memiliki hobi yang sama. Tentu saja tampang mereka di atas rata-rata. Nyaliku ciut saat itu, aku hanya berteman dengan orang-orang yang membuatku nyaman. Namun, aku sadar bahwa orang-orang ‘sosialita’ itu memiliki hati yang baik, meskipun cara bergaya mereka yang menunjukkan eksistensi mereka.”.

“Masa-masa Sekolah Menengah Atas-ku yang sangat memuakkan, walaupun aku menemukan serpihan kebahagiaan di sana. Aku harus tinggal jauh dari rumah dan kamarku yang nyaman, karena aku bersekolah di daerah yang berbeda dengan rumahku. Lingkungan yang sangat berbeda dengan lingkunganku sebelumnya, sempat membuatku shock, tapi saat itu aku tetap teguh dengan pendirianku agar bisa bertahan hidup dan beradaptasi di tempat yang baru. Pun, aku memiliki teman-teman yang menyayangiku, hingga aku pernah terjebak dalam diriku sendiri yang tidak dapat dijelaskan.”.

“Masa kuliahku saat ini mungkin sedikit berbeda dari masa-masa sekolahku sebelumnya. Aku tidak suka bergaul. Aku benci berkerumunan dengan orang-orang meskipun aku mengenal mereka. Aku tidak suka menghabiskan waktuku hanya untuk duduk-duduk saja. Dan aku mulai melepaskan teman-teman yang dekat denganku. Mungkin dulu aku memiliki sekelompok teman yang bisa ku ajak kemanapun. Tapi sekarang, cukup dengan diriku sendiri dan berteman seperlunya.”

“Apakah aku salah?”  
  
Kadang juga aku merasa kesepian dengan diriku. Aku bukanlah seorang yang individual, tapi aku merasa aku mulai tidak peduli dengan orang-orang disekitarku. Entah kenapa pun sekarang aku malas menjalin silaturahmi kepada orang-orang yang ku kenal. Dulu pun aku pernah menghilang tiba-tiba sehingga orang-orang terdekatku khawatir. Aku sadar bahwa aku membentuk diriku yang baru dan berbeda daripada yang dulu.

Pergulatan “I” dan “Me” dalam Diriku
Istilah ini” aku dapatkan dalam kuliahku di kampus (biar bermanfaat aja ilmunya he..he..he). “I” dan “Me” merupakan bagian dari self (diri) dalam interaksionisme simbolik. “I” merupakan diri sebagai subjek dan “Me” adalah diri yang ter-obyek-kan. “I” memiliki sifat yang anti sosial, mementingkan diri sendiri, berdasar pada ego. Dalam “I” ini semua termasuk norma dan budaya ditafsirkan sendiri sehingga diri menjadi kreatif dan bebas. Lain halnya ketika berbaur dengan orang-orang, “Me” lah yang berperan. Diri memiliki peran dalam masyarakat dan memikul beban, harus mentaati norma dan budaya yang berlaku. Jadi lebih nyaman menjadi yang manakah diri kita?

Tentu bagiku keduanya. Aku menjadi “me” ketika aku keluar dari kamarku, bahkan dalam keluarga, teman, orang-orang yang ku kenal dan dalam pekerjaanku. Diriku yang ter-obyek-kan ini harus aku terima untuk menyelamatkan diriku. Lain halnya dengan diriku saat meulis tulisan ini. Diriku menjadi “I”. Aku bebas menulis apa yang aku inginkan dan mengunggahnya ke blog pribadiku.

“ngga penting banget ya?”

Mungkin bagi yang membaca sampai saat ini adalah orang hebat yang mau melihat tulisanku yang tak beraturan ini. Tapi sudah sejak lama pikiran ini berputar-putar di kepalaku, sebelum tidur, saat melamun atau kadang-kadang aku mengingat sesuatu yang seharusnya aku lupakan. Sesuatu yang menyakitkanku, yang tidak membuatku bahagia. Semua itu tergantung keputusan kita sendiri. Tapi apakah mudah melupakan sesuatu yang membekas dalam diri kita? Atau membuat bahagia versi diri sendiri? Akhirnya konsep self: “I” dan “Me” dari Mead ini cukup membuka pikirankku dan menentukan langkah-langkahku untuk berhati-hati. Yah, walau tidak semua bisa terselesaikan dengan konsep.

Begitulah “Spektrum Memori” yang bergulat dalam diriku. Mereka memberi warna bak aurora, terkadang abstrak dan tiap-tiap warnanya punya kenangan bagiku. Ada yang perlu aku lupakan, ceritakan, atau aku simpan untuk diriku.

Lalu bagaimana “Spektrum Memori” versimu?

Foto oleh: @dharma_wirata20
Bagi yang sudah mampir, ingin berbagi bisa melalui dm Instagram @laksmimp :)

CONVERSATION

0 Comments:

Posting Komentar