Senja Murka


Segala keindahan yang tampak, nyatanya hanya sementara
Sewaktu itu, tanpa tahu aku sudah menyusuri pasir halus yang menggelitik telapak kaki ku dengan desiran angin yang tenang. Tak biasanya aku mendapatkan panorama senja dengan sengaja. Di waktu sebelumnya, selalu ku tunggu guratan-guratan indah itu agar aku bisa menikmatinya sembari bersantai. Kali ini berbeda, aku tak menunggu senja itu datang. Siapa sangka senja hadir sewaktu musim penghujan? Mungkin dia hanya ingin menampakkan keindahannya dipenghujung tahun ini.

Tak seperti bisanya, sore itu memasuki Bulan Desember yang mungkin semua orang akan tahu bahwa bulan ini adalah istimewa untuk Bali. Akhir tahun memang sepantasnya untuk liburan. Bukankah begitu? Baru kali ini aku merasa jalanan Kuta cukup lenggang, tak seperti biasa yang dipadati turis-turis asing yang sedang melancong. Begitu pula Pantai Kuta saat itu yang tidak padat, bahkan aku masih bisa menunggui matahari terbenam tepat di depanku tanpa terganggu lalu-lalang orang-orang yang berebut untuk swafoto atau ikut menikmati matahari terbenam.

Mungkin aku sedikit merasa senang, karena akhirnya aku bisa lega dengan kelenggangan ini. Tapi mungkin tidak untuk si penjaga kursi di Pantai Kuta yang memaksa ku untuk duduk di kursi santai itu, padahal aku notabene orang lokal. Biasanya kursi-kursi itu selau penuh. Namun saat itu mereka cepat-cepat merapikan kursi-kursi itu.

Kali ini di musim penghujan, kami masih diberikan keindahan untuk melihat senja dengan warna yang berbeda. Bahkan, terkadang langit memang cukup indah untuk dinikmati. Lalu mana mungkin Bali bisa mati karena tidak ada yang melancong? Mungkin tidak hanya senja yang bisa murka, tetapi alam yang sedang menguji tanpa tahu apa yang akan terjadi...




CONVERSATION

0 Comments:

Posting Komentar