“Most of the problems in life are because of two reasons, we act without thinking or we keep thinking without acting"-Anonymous
Hidup tanpa masalah bukan menjadi sesuatu
yang terlihat 'baik-baik saja'. Sesuatu yang teramat lama dipendam dapat
menjadi masalah dikemudian hari. Setiap orang memiliki kehidupan yang berbeda
sesuai karakter yang melekat dalam diri masing-masing. Seiring berjalannya
waktu, masalah akan datang silih berganti dan tiap orang memiliki pilihan
bagaimana cara mengatasi masalah tersebut atau memilih melupakannya. Namun yang
menjadi guru terbaik dalam hidup adalah ‘pengalaman’ yang membuat kita dapat
mengatasi masalah dan menata hidup agar lebih baik dikemudian hari. Tulisan ini
sesungguhnya bukan sebagai bentuk ‘menggurui’, namun berdasarkan pengalaman
yang saya miliki sebelum berani menulis ini. Dalam setiap jejak kehidupan
hingga berhenti di tahun ke 20, pengalaman luar biasa tentang hidup yang masih
akan berjalan dan saya mencoba berhenti untuk menuliskannya saat ini…
Lahir
di Denpasar, sebagai gadis Bali asli membuat saya sesunguhnya malu karena saya
tidak sedikit pun memiliki bakat dalam menari Bali. Sejak Taman Kanak-kanak
hingga Sekolah Menengah Pertama saya bersekolah di sebuah Sekolah Katolik dan
mengajarkan saya beberapa hal tentang kedisiplinan yang berbeda daripada
sekolah negeri pada umumnya. Saya tidak berani terlambat sekolah atau bahkan
membolos. Apalagi pada peraturan saat itu, murid-murid tidak diperbolehkan
membawa handphone dan mengendarai
kendaraan sendiri. Yah, walaupun sebenarnya masih saja ada yang melanggar, saya
tidak sering membawa handphone karena
memang belum punya hingga duduk di kelas 2 SMP. Apalagi mengendarai kendaraan,
karena saya belum berani dan selalu ikut mobil antar-jemput sekolah. Menari merupakan
salah satu kegiatan seni yang kurang saya gemari. Hal tersebut terlihat ketika
saya duduk di TK dan ibu saya memilihkan saya ekstrakurikuler menari. Guru menari
saya pada saat itu cukup bisa disebut tegas. Ketika teman-teman saya dengan
mudahnya menari, saya masih diomeli agar bisa. Namun sekalinya tidak suka, saya
tidak ingin ikut menari lagi dan berlabuh ke melukis. Akhirnya dengan melukis
saya bisa melampiaskan emosi di atas kertas walaupun hasilnya tidak begitu bagus.
Ketika
berbicara tentang masalah, sesungguhnya saya selalu berpikir bahwa diri saya
adalah ‘masalah’ tersebut. Sejak kecil saya sering merusak barang-barang di
rumah, ngambek-an, bahkan pernah
bermain bersama tetangga hingga tersesat. Iya, karena saya memang sering
membuat masalah sejak kecil. Ketika para tetangga yang biasa saya ajak bermain
harus pindah satu-persatu, saya merasa kesepian dan melampiaskan dengan membaca
majalah dan komik anak-anak. Hal tersebut membuat saya terlalu sering menyelami
isi bacaan tersebut hingga saya sering berkhayal dan selalu memiliki keinginan
untuk membaca komik hingga akhirnya harus mengenakan kacamata minus. Awalnya saya
tidak sedikit pun merasa risih mengenakan kacamata. Namun, semakin bertambahnya
usia, saya paham bahwa berbagai konstruksi sosial akan terbentuk di masyarakat,
terutama untuk anak-anak yang beranjak remaja. Adanya istilah ‘cupu’, ‘eksis’,
atau ‘gak level’ membuat kumpulan orang membentuk suatu kalangan yang
mencerminkan dirinya dan mencari ‘kawan’ yang sepantaran dengan dirinya tersebut.
Pada masa itu, saya sangat pantas disebut kalangan ‘cupu’ yang kutu buku dan
anak kesayangan guru karena rajin belajar dan bertanya di kelas. Saya tidak
akan sepantaran karena ‘gak level’ dengan orang-orang ‘eksis’ di sekitar saya,
hingga saya mendoktrinkan diri saya bahwa saya adalah seorang yang pemalu.
Dengan saya yang pemalu dan ditambah teman-teman kecil saya di sekolah sering mengejek-ejek saya karena kulit saya hitam atau nama panggilan saya aneh atau saya yang terlihat aneh di mata mereka. Namun itu hanya sebatas candaan karena pada saat itu saya belum paham tentang bullying. Well, pada saat itu saling ejek-mengejek adalah hal biasa untu anak-anak. Pada saat itu saya belum juga memahami arti persahabatan karena saya menganggap orang-orang yang di dekat saya adalah teman. Jika mereka baik pada saya, maka saya akan baik pada mereka. Namun, jika sebaliknya, saya akan menjauhi dan tidak akan mendekati mereka. Sederhana memang, karena pada saat itu belum ada istilah ‘baper’ atau bawa perasaan. My life was enjoyed before…
Dengan saya yang pemalu dan ditambah teman-teman kecil saya di sekolah sering mengejek-ejek saya karena kulit saya hitam atau nama panggilan saya aneh atau saya yang terlihat aneh di mata mereka. Namun itu hanya sebatas candaan karena pada saat itu saya belum paham tentang bullying. Well, pada saat itu saling ejek-mengejek adalah hal biasa untu anak-anak. Pada saat itu saya belum juga memahami arti persahabatan karena saya menganggap orang-orang yang di dekat saya adalah teman. Jika mereka baik pada saya, maka saya akan baik pada mereka. Namun, jika sebaliknya, saya akan menjauhi dan tidak akan mendekati mereka. Sederhana memang, karena pada saat itu belum ada istilah ‘baper’ atau bawa perasaan. My life was enjoyed before…
Menginjak masa SMA hingga awal kuliah, saya pernah merasa ‘tertekan’ tetapi saya tidak ingin menyebutnya dengan ‘depresi’ karena saya masih merasa ingin melanjutkan hidup namun belum menemukan cara terbaik untuk mengatasi rasa ‘tertekan’ yang saya hadapi. Berbagai cara telah dilakukan hingga memilih untuk terapi namun hanya kecil keinginan untuk melepaskan rasa ‘tertekan’ yang saya alami pada saat itu. Saya memilih ‘melepaskan’ masalah dan rasa bersalah yang saya punya dibandingkan dengan mengatasinya. Perlahan pun rasa ‘tertekan’ tersebut sirna namun belum dapat dikatakan saya sudah ‘memaafkan’ apa yang pernah saya alami hingga merasa ‘tertekan’. Pada keaadan itu, jika saya ditanyakan “kenapa?” saya tidak akan bisa menjawab, saya hanya ingin meredamnya biar orang yang menerka-nerka sampai mereka lupa. Jika saat ini saya ditanyakan “bagaimana caranya sembuh?” saya akan memberikan jawaban terbaik sesuai versi saya. Entah percaya atau tidak, lebih baik melepaskan hingga memaafkan dan mencari apa yang menjadi kesenangan bagi diri kita. Saya memang belum sepenuhnya memaafkan diri saya dan hal-hal yang membuat saya ‘tertekan’, tetapi saya sudah melepaskannya. Dan akhirnya saya hidup dengan kesenangan saat ini dan mencoba ‘bahagia’ versi saya.
Pengalaman
akan keterpurukan yang diakibatkan karena masalah yang datang bertubi-tubi akan
menjadi guru terbaik bagi diri sendiri. Jika sulit untuk menyiratkan sesuatu
dalam hidup ini akan lebih baik jika kita menyuratkannya dan tidak lupa untuk
saling berbagi dan mengasihi. Karena hidup sesungguhnya tidak akan lepas dari
permasalahan namun hidup tidak lah ada tanpa pilihan yaitu, mengatasi,
melepaskan, dan memaafkan.
0 Comments:
Posting Komentar