Kala Sandikala

#fiksimini


Am.


Surya tenggelam, mengubur asa sekaligus menghapus cerah.
Polesan gincu menyala tak luput membingkai, merona agar nanti ada yang tergoda. Tiap hisapan batang, menghitam di bibir malah itu mutlak menjadi kepuasan diri. Menjadi pesolek merupakan keseharian, bahkan kewajiban. Tetap terlihat tenang, jangan sampai ada yang curiga hingga terusik.  Tidak pernah lupa gumpalan busa agar diri pun percaya, bisa menggoda. Lapisan-lapisan ini pun membuat kepunyaanku saru, jangan sampai ada yang tahu. 

Bertingkah seperti halnya mereka, yang sebenarnya siapa yang menjadi mereka” 

Tersirat kilauan mata dengan ingar bingar cahaya gemilang yang hanya didapatkan waktu temaram. Tutup rapat-rapat daun telinga ketika ada sindiran miring, membahana sepanjang sampai kapan mereka selesai. Berintuisi untuk memahami diri, paham dengan mereka atau memilih diri yang sesungguhnya tak pantas atau mereka yang tidak memantas. Pantas saja, yang seperti diri ini tak sama atau sesungguhnya pun berpikir bahwa mereka yang tak biasa melihat diri yang tidak dipantaskan. 

Teka-teki bukan, namun jawabannya sungguh tak pernah didapatkan.” 

Karena diri sesungguhnya berbeda, berada diantara tepatnya surya ada di atas dan surya yang kembali ke peraduan. Karena diri berbeda dari mereka. Karena diri tak sama dengan mereka. 

“Karena diri sesungguhnya ada, tapi berada di kala sandikala. Biarlah, “dari pada mengada-adakan diri pun sesungguhnya diri ada, berharap nanti akan berada.”  

CONVERSATION

1 Comments: