DARE TO FORGET



Sebuah kisah terinspirasi dari anak-anak penderita kanker di Yayasan Kasih Anak Kanker Bali


Jadi Karina sayang, aku mau mulai besok kita tidak bertukar kabar selama seminggu. Aku mau kamu mandiri tanpa aku. Aku mau kamu berteman dengan yang lain, tidak dengan ku saja. Jika kamu mampu menjalaninya, maka kamu akan aku beri hadiah. Pada hari itu, kamu datang ke rumahku. Aku akan menyiapkan hadiah terbaik untukmu..........

Aku terduduk lesu di ujung ruangan ini. Bosan sekali rasanya. Setiap minggu aku harus mengikuti acara ke kanak-kanakan ini. Namaku Karina, 15 tahun. Aku penderita leukemia sejak 2 tahun lalu dan dititipkan di yayasan khusus anak kanker di Bali. Orang tua ku tinggal di NTT, Banyak yang bilang aku terlihat seperti bule, karena rambutku keriting kecokelatan. Namun tidak sampai penyakit ini menyerang. Rambutku rontok perlahan-lahan dan sekarang nyaris botak. Aku termenung. Masa remajaku yang seharusnya indah harus menjadi seperti ini. Awalnya, aku hanya berobat jalan di sebuah rumah sakit di Bali, bersama dengan orang tua ku Namun rumah sakit menyarankan aku untuk tinggal sementara di sebuah yayasan kanker di Bali. Awalnya aku merasa aman dan senang karena bisa tinggal bersama orang tua ku. Namun papa dan bunda memilih untuk kembali ke NTT karena mereka harus bekerja mencari nafkah untuk pengobatanku. Mereka sudah tidak kembali selama 2 bulan. Awalnya aku mengira akan pergi karena malu memiliki anak penyakitan sepertiku. Namun dugaanku ternyata salah. Mereka mengirimiku surat 2 hari yang lalu dan berkata aku harus sabar menanti mereka kembali karena mereka harus bekerja. Aku sungguh kesepian di sini. Memang, kakak-kakak relawan sungguh baik padaku. Namun aku rindu tanah kelahiranku. Dulu aku bebas berlarian di pasir pantai. Namun sekarang berjalanpun aku tidak kuat. Lagipula aku tak punya teman sebaya di sini. Kebanyakan mereka anak kecil di bawahku.
Kulihat Ino, penderita tumor dihidungnya berlari-lari kecil memamerkan mainan barunya. Terkadang aku masih merasa bersyukur meskipun aku sakit, aku tidak memilik tumor yang menggantung di tubuhku. Kasihan Ino yang masih kecil harus menanggung beban itu. Aku mengusap pelan kepala Ino yang botak. Dia hanya menyeringai dan berbalik lagi ke kakak-kakak relawan baru yang mengunjungi kami. Sejujurnya aku merasa jengah dikasihani seperti ini. Wajah mereka selalu merasa perihatin melihat aku dan kawan-kawanku. Aku mendorong kaki ku ke depan dan belakang. “Jepret!!” tiba-tiba sinar blitz menyambar wajahku. “Hai, Kamu cantik sekali!” ujar lelaki itu. Dia mengulurkan tangannya. “Rein.” Ujarnya. Aku membalas salamnya tanpa menatapnya. “Karina.” “Kok kamu nggak gabung sama yang lainnya?” Dia duduk disampingku. “Nggak, males aja.” “Ooh, kamu umur berapa?” “15” “Wah, kita beda 2 tahun!” ujarnya masih seramah tadi. “Ohh, maaf ya kak.” Aku tersipu malu. “Gak apa, mending kita ngobrol ringan aja.” Ajaknya sambil tetap menggantungkan senyum di wajahnya. Begitulah kami semenjak saat itu kami bercerita banyak hal dan kami mulai bersahabat. Rein sering mengunjungiku, membawa makanan dan mengajariku pelajaran sekolah karena aku sudah banyak ketinggalan pelajaran. Bahkan dia sudi mengantarku cek lab untuk mencangkoktulang sumsum-belakangku, yang sedari dulu aku merasa sakit sekarang beda rasanya. Semenjak mengenal Rein aku ingin cepat sembuh.
“Karina…” Ujar Rein sambil duduk di sebelahku. Hari ini kami sedang membaca novel dan menggambar do Taman. “Aku sayang kamu…” Bisiknya lirih. Aku kaget, “Tapi Rein.. aku penyakitan, aku jelek.” Ujarku lirih. “Aku sayang kamu!” tekannya kuat. “Aku sakit Rein, aku gak normal, aku gak secantik cewek-cewek lainnya dan bentar lagi..” “Enggak Karina, hatiku udah buatmu, aku sayang kamu.” Bisiknya pelan, lalu kami berpelukan dan aku terisak. Baru kali ini ada yang mau bersahabat dan memberikan hatinya yang tulus padaku. Bahkan kali ini dia bukan sekadar sahabat ku lagi. Mulai hari it uRein makin sering mengunjungiku bahkan kami sering jalan-jalan ke luar. Dia mengajakku ke rumahya dan mengenaliku dengan orang tuanya yang tak kala ramah dan menerimaku apa adanya. Minggu sore yang cerah, kami bermain di pantai. Duduk di atas kelembutan pasir putih. “Gimana kalau kita bikin surat tantangan Na?” ajak Rein. “Tantangan seperti apa Rein? Tanyaku heran. “Jadi kita bikin tantangan masing-masing lalu kita saling tuker. Nah aku punya bunga jadi kita rontokin satu-satu setiap kelopak itu nama kita. Bunga yang terahkir tontok itu dia yang harus melakukan tantangannya. Aku mengangkat alis, sedikit paham. “Lalu?” tanyaku “Kamu setuju tidak?” tantangan Rein sambil tersenyum nakal. “Deal!” Sahutku sambil menjabat tangan Rein. Lalu kami pun menulis tantangan yang akan kami berikan. Setelah merontokan kelopak bunga, ternyata tantangan dari Rein lah yang harus aku jalani duluan. “Jadi kamu siap Na?” Tanya Rein. Aku mengangguk mantap dan mulai membuka gulungan kertas tantangan dari Rein. Aku kaget membacanya. Dari: Rein. Jadi Karina sayang, aku mau mulai besok kita tidak bertukar kabar selama seminggu. Aku mau kamu mandiri tanpa aku. Aku mau kamu berteman dengan yang lain, tidak dengan ku saja. Jika kamu mampu menjalaninya, maka kamu akan aku beri hadiah. Pada hari itu, kamu datang ke rumahku. Aku akan menyiapkan hadiah terbaik untukmu. “Apa maksudnya ini Rein?” Tanyaku heran. “Yah, mau tak mau kamu harus jalanin Na..” Ujarnya tersenyum jenaka. Rein menggaruk-garuk kulitnya yang memerah gatal. “Kamu kenapa Rein?” Tanyaku. “Cuma gatel kok Na..” Tapi aku melihat ruam merah banyak sekali di tubuh Rein dia juga terlihat sangat kecapekan. “Aku cuma alergi laut.” “Yaampun Rein! Kenapa kamu baru bilang? Kalau gitu aku gak maksa kamu ke pantai!” Ujarku gusar. Buru-buru aku menarik tangan Rein pulang.
Malam harinya, aku duduk di ujung tempat tidurku sambil membaca tantangan dari Rein. Akankah aku bisa menjalaninnya? Aku kembali mengingat tantangan yang aku berikan pada Rein. Padahal tantanganku sederhana. Aku hanya ingin Rein bersamaku selamanya. Aku melipat kembali surat tantangan dari Rein dan bersiap terlelap. Keesokan harinya aku mendapati bunga mawar dan kertas kecil berisi tulisan: Hari pertama, semangat sayang! Itu dari Rein. Aneh-aneh saja orang itu. Dia bilang supaya aku tidak menghubunginya tapi malah dia mengirimiku bunga. Hari-hari selanjutnya aku jalani tanpa kehadiran Rein. Awalnya aku merasa biasa saja dan mulai membuka diri untuk berteman dengan teman-teman di yayasan. Rein masih saja mengirimiku bunga dengan kertas warna-warni yang berisi : Tinggal sedikit lagi, kamu pasti bisa! Oh, sungguh aku sangat rindu pada Rein. Hari ini adalah hari terahkir tantangan dari Rein. Tentu saja dia tidak memberikan apapun padaku, karena aku harus kerumahnya untuk mengambil hadiah perdanaku. Aku pun bergegas menggunakan gaun merah maroonku dan pergi ke rumah Rein. Rumah Rein yang besar. Aku kaget melihat bendera kuning menghiasi temboknya. Rumahnya juga tampak ramai. Aku bergegas menuju pintu utamanya tanpa memedulikan orang-orang yang kaget melihat kepalaku yang  nyaris tak berambut. Ku lihat wajah muram papa dan mama Rein. Mereka menungguku menghampirinnya. “Rein sangat bangga padamu, Na!” Peluk mamanya. “Ada apa ini tante?” tanyaku. Perasaanku sungguh tak enak. Mereka membimbingku menuju suatu ruangan yang berhias bunga mawar di pintunya.  Mereka membuka perlahan pintunya dan aku terkaget-kaget. Ya Tuhan! Rein tertidur disana dengan wajah pucat dan tangannya tergenggam satu sama lain di perutnya. Aku menangis keras. “Rein….. kenapa bisa?” Ujarku lirih. “Rein sakit Na, lupus.” Ujar mama Rein lirih.” “Sejak kapan?” tanyaku. “Sejak dia kelas 5 SD, sebelum mengenalmu.” Balas papanya. Aku terduduk di tepi tempat tidur Rein, tak tahu harus berkata apa. Untuk apa Rein? Untuk apa kamu mengenal diriku kalau kamu yang harus pergi duluan? Maki ku dalam hati. Mama Rein mengusap lembut punggungku. “Ini hadiah yang Rein buat untukmu Na, tulus dari hatinya.” Ujar Papa Rein sambil membawa karangan bunga  mawar putih dan merah yang masing-masing berjumlah 7 buah seta foto album foto. Aku membaca cover album. “14 Bulan’Rein&Karina-“ lalu aku melanjutkan membuka halamannya satu persatu. Halaman pertama berisi fotoku yang sengaja di foto oleh Rein ketika kitapertama kali bertemu. Tak lupa dia mengisi kesan yang ditulisnya sendiri. “Rein tidak mau dibantu menuliskannya Na, padahal dia sudah tidak punya tenaga lagi. Ujar mamanya. Aku terisak dan halaman terahkir membuatku sangat tersentuh. “Kamu udah bisa 7 hari tanpa aku. Hari ini tepat 14 bulan kita bersama. Jadi setelah ini kamu terbiasa kan tanpa aku Na? untuk tantanganmu, aku pasti tepatin Na dari sana. Aku akan tetap bersamamu yaitu selalu ada dihatimu.” Diakhir kata Rein menuliskan. “Tetap hidup Karina, sekarang dan selamanya.” Aku menangis semakin keras. “Rein….” Ujarku lirih.
Aku kembali terduduk di tepi pantai. Tadi dokter berkata aku akan menjalankan kemoterapi untuk terakhir kalinnya. Itu artinya aku akan sembuh. Aku berteriak keras. “Kenapa tidak aku yang pergi Tuhan?” Aku kembali menangis. Tiba-tiba ada dua oran memelukku erat. “Kami yang tidak mau kamu pergi Na…” bisik seorang pria. “Kami sayang sama kamu dan tetap terus bersamamu.” Bisik seorang wanita kali ini. Aku menangis keras. “Jangan sedih buah hatiku…” Sahut lelaki dan perempuan itu lagi.



“Yayasan Kasih Anak Kanker Bali merupakan yayasan untuk penderita kanker dari luar Bali yang mengungsi dan berobat di Bali. Mereka biasanya tinggal atau dititipkan oleh orang tua mereka. Jadi saya terinspirasi oleh keceriaan dan ketegaran mereka saat saya berkunjung ke sana. Mereka yang kebanyakaan berumur 2-10 tahun sungguh lucu dan menggemaskan. Kita harus bercermin pada mereka. karena tiap cobaan pasti ada hikmahnya. –Ames Laksmi-


CONVERSATION

0 Comments:

Posting Komentar