Apa yang Kita Tunggu untuk Hidup?



Perjalanan kehidupan memang tidak semulus apa yang sudah kita rencanakan. Semesta seolah-olah tidak pernah mengamini keinginan manusia yang tak ada habisnya. Salahkah kita sebagai manusia untuk terus berharap?


Jika kematian adalah cara terbaik untuk melupakan dunia, namun pernahkah kamu berpikir, seperti apa rasanya kehidupan setelah kematian itu?


Ketika menuju kematian adalah hal yang begitu mengerikan, seperti merasakan sakit hingga akhirnya terhempas ke Nirwana. Akankah setelah itu, rasa sakitnya akan terdifusi, untuk kemudian menyatu dengan alam semesta?


Pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di kepalaku malam ini hanyalah sebagian dari kegundahan yang kurasakan akhir-akhir ini lebih tepatnya, kegundahan yang selalu terngiang-ngiang di kepalaku seiring bertambahnya usia.


Ketika krisis eksistensial yang melanda diriku di usia 18 tahun dan membuat diriku menjadi sangat individual, ternyata hanyalah menjadi buah simalakama.


Buktinya, masih saja aku menaruh harapan pada orang-orang yang kutemui. Dan hal tersebut terus berlanjut, ketika mereka yang datang terasa sangat menyegarkan untuk segala kompleksitas pemikiranku yang sulit untuk dimengerti, bahkan untuk diriku sendiri.


Jika kehidupan ternyata bisa semudah itu, mengapa aku selalu memilih jalan yang sulit? Mengapa mereka bisa menghadapi dunia begitu saja, sedangkan aku tidak bisa?


Lagi-lagi aku memilih untuk lari dan mengutuk dunia yang rasanya tidak membuatku merasa nyaman. Ketika aku tak menemukan tempat yang pantas untuk bersandar, lagi-lagi aku hanya bisa membenci dan mengutuknya.


"Aku ingin menghilang saja dari dunia ini," lagi-lagi aku bergumam seperti itu, saat keadaan dirasa sudah tidak berpihak pada diriku.


Kompleksitas pemikiran manusia yang seperti ini, terkadang inginku belah dan dibagi-bagikan seperti potongan daging sapi yang dijajakan di supermarket.


Berwadah styrofoam putih dan diselimuti bungkusan plastik bening. Berwarna merah segar, siap tuk dimasak berbagai macam hidangan menggugah selera.


Setidaknya kompleksitas daging sapi itu jadi berguna untuk kehidupan manusia: membuat perut mereka penuh.


Lagi-lagi aku tak bisa berdamai dengan dunia yang fana ini, atau lebih tepatnya, aku belum bisa berdamai dengan diriku sendiri?


Entahlah, aku sendiri pun masih menimang-nimangnya.

CONVERSATION

0 Comments:

Posting Komentar