Ketika dekat, berarti tiada jarak. Sebuah momen yang
sangat berarti pada saat itu. Pernahkah kalian berpikir bahwa masa-masa itu
mungkin tidak akan terulang kembali? Ya, saat itu aku masih naif, atau mungkin
aku hanya sekadar menikmatinya, tanpa ku tahu segera aku akan melewatinya
begitu saja…
Saat ini pukul 07.00, aku masih meringkuk di
tempat ternyamanku; kasur. Ini bukan kali pertama aku merasa malas dan tak
bergairah. Sesering ini aku lebih nyaman menikmati waktuku hanya berdiam diri
di kamar, sembari membayangkan masa-masa terbaikku, atau dihantui oleh semua
rasa bersalahku. Tak pernah terbesit sekalipun untuk keluar, menghirup udara
segar, atau bahkan mencari teman.
Aku selalu merasa terpuruk, tak berguna, tapi tak
ingin mati. Perasaan apakah ini? Bayang-bayang tentang rasa bersalah masih
menghantuiku. Rasanya seperti ada sekat antara pikiranku dan kenyataan di luar
sana.
Pukul 19.00, sehabis bangun dari tidur siangku,
tenggelam dalam pikiran yang kalut, berusaha untuk percaya bahwa kenyataan
masih sama. Berusaha menerima dan menghadapi bukan tipikalku. Aku bisa saja
pergi, tanpa menyelesaikan yang seharusnya aku hadapi. Aku bisa saja
menghilang, membuat orang panik, lalu mencariku dan bertanya ada apa denganku
sebenarnya?
“Aku muak!”, pikirku.
Hatiku ingin berontak.
Bahkan masih ada sekat antara pikiran dan hatiku.
Seolah mereka tak mau bersatu, dibatasi oleh
jarak.
Lalu hanya batinku yang berontak,
berteriak dalam hati
Berusaha menghancurkan jarak,
Mungkin aku akan mati, nanti.
0 Comments:
Posting Komentar