MEBUUG-BUUGAN

Sebuah tradisi luhur dari leluhur yang sempat tergusur

“Mentul, menceng, mentul, menceng, glendang-glendong, glendang-glendong……” terlihat keramaian teruna-teruni Desa Adat Kedonganan yang sedang membentuk suatu barisan sambil bersenandung berjalan menuju arah pantai barat. Tidak ada yang malu terutama bagi para teruna desa yang telanjang dada hanya bebalut kain pada bagian bawah tubuhnya. Merekapun tak merasa risih karena buug melumuri seluruh bagian tubuhnya……

Tradisi mebuug-buugan di desa adat Kedonganan, Kuta, Bali kembali terlaksana setelah beberapa puluh tahun tak terdengar gaungnya. Tradisi yang juga disebut dengan ‘lempar lumpur’ mengundang banyak massa saat terlaksana tepat setelah hari raya Nyepi. Secara etimologi bahasa mebuug-buugan berasala dari kata “Buug” yang berarti tanah atau lumpur dan “bhu” yang artinya ada atau wujud, sehingga berafiliasi menjadi kata “Bhur” yang artinya bumi, tanah atau pertiwi sehingga awalan me- menjadi sebuah kata kerja atau aktivitas. Dapat diartikan mebuug-buugan berarti sebuah interaktivitas dengan menggunakan tanah atau lumpur (buug) sebagai media.
Banyak informasi yang menyatakan bahwa tradisi mebuug-buugan sudah tidak terlaksana sejak 60 tahun yang lalu. Setelah kami mencari informan kunci ternyata tradisi ini sudah terlaksana semenjak zaman penjajahan Jepang pada 1942. Pada saat itu belum ada klian desa adat yang bertugas mengatur desa setempat. Almahrum Pekak Glibek, salah satu pencetus pada generasi saat itu mempunyai peranan penting dalam menjalankan tradisi dan terus diturunkan pada generasi selanjutnya hingga pada masa kemerdekaan. Lambat-laun pada generasi selanjutnya, tradisi mebuug-buugan sempat mengalamai kemandegan yang artinya sudah tidak begitu dikenal kembali. Akhirnya pada generasi Komang Astawa, beberapa tahun kemudian tradisi ini kembali dilaksanakan namun ternyata tergusur modernisasi hingga akhirnya kembali terlaksana kembali pada tahun 2015  setelah sempat menghilang beberapa dekade. Penyebab utamanya adalah pola pikir yang belum peka/respect terhadap tradisi mebuug-buugan ini. Karena sejak generasi pertama, tradisi ini tidak menggunakan busana apapun alias telanjang bulat dan hanya bergantung pada lumpur sebagai media penutup tubuh. Selain itu lambat laun dengan adanya tradisi ogoh-ogoh yang tidak ada matinya sampai sekarang membuat tradisi mebuug-buugan semakin ditinggalkan. Pada generasi itupun tradisi mebuug-buugan dilaksanakan pada saat melaksanakan catur brata penyepian di saat hari raya Nyepi itu sendiri. Catur brata penyepian itu sendiri merupakan empat pantangan yang harus dijalankan saat melaksanakan hari Nyepi. Empat pantangannya yaitu amati geni (tidak menyalakan api), amati lelanguan (tidak boleh berfoya-foya), amati lelungan (tidak boleh berpergian) dan amati karya (tidak boleh melakukan pekerjaan). Pada saat generasi pertama, umat hindu diperbolehkan keluar rumah, namun tidak boleh melakukan aktivitas nyuwun yang artinya memikul suatu benda. Maka dari itu, agar tidak menghilangkan esensi dari catur bratha penyepian itu maka tradsi mebuug-buugan dilaksanakan pad ngembak geni, satu hari setelah hari raya Nyepi.

Korelasi mebuug-buugan dengan pelaksanaan Tapa Brata Yoga Semadi dalam rangka menetralisir kekuata Panca Maha Bhuta (Nyomia Bhuta) sangat jelas terlihat dari rangkaian pelaksanaan prosesinya. Yaitu dikumpulkannya teruna-teruni desa adat Kedonganan untuk dijelaskan tentang teknis pelaksanaan acara. Para teruna desa hanya dibaluti kain yang disebut dengan kamen bulet genting yang artinya hanya menggunakan kain yang kancutnya dibawa kebelakang sehingga membentuk bulatan seperti penari kecak serta selendang yang diikat di pinggang. Sedangkan para teruni desa tetap memakai pakian adat ringan. Setelah itu mulai menghaturkan caru yang dipusatkan pada catus pata sebagai stana Sang Hyang Andikala. Karena sebelum kita mengambil buug di pantai mangrove atau yang disebut pantai timur. Tujuannya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Setelah melumuri tubuh mereka dengan lumpur, mereka kembali membentuk suatu barisan. Masing-masing teruna-teruni yang terlibat di berikan tirta. Tujuannya untuk menyomiakan bhuta kala yang artinya menetralisir aura negatif dari bhuta kala dalam diri manusia. Setelah itu para teruna-teruni yang terlibat berjalan kembali sembari menyanyikan sebuah lagu. Makna dari lagu mentul menceng, mentul menceng, glendang-glendong, glendang-glendong merupakan perlambangan dari wanita sebagai purusa. Purusa sendiri merupakan makna kesuburan yang dilambangkan dari pertiwi, benda padat dari buug itu sendiri. Setelah sampai di tempat tujuan, pantai barat sebagai pantai berpasir putih, mereka membersihkan tubuh dari lumpur tersebut. Fungsinya untuk kembali menyucikan diri dari buug agar menetralisir kekuatan bhuta kala tersebut.

CONVERSATION

0 Comments:

Posting Komentar